JAKARTA, KOMPAS.com - Penggusuran terhadap warga miskin yang tinggal di tengah kota dinilai bukanlah solusi yang tepat untuk mengatasi masalah kemiskinan dan upaya untuk meremajakan kota.
Hal tersebut disampaikan Coordinator of program studies of urban studies and planning sekaligus akademisi Savannah State University Amerika Serikat, Deden Rukmana dalam sidang uji materi nomor perkara 96/PUU-XIV/2016 di Mahkamah Konstitusi, Jakarta Pusat, Rabu (25/1/2017).
Menurut Deden, meski ada pemberian ganti rugi, penggusuran berpotensi menimbulkan persoalan sosial dan ekonomi baru.
Misalnya, warga yang berpindah tempat itu harus beradaptasi dengan lingkungan baru yang menjadi tempat tinggalnya.
Selain itu, mereka akan kesulitan mendapatkan akses meraih pekerjaan karena kesempatan bekerja lebih banyak berada di pusat kota.
"Menggusur hanya akan sekadar memindahkan kemiskinan dari lokasi lama ke lokasi baru," ujar Deden, Rabu.
Deden melanjutkan, pemindahan warga ke daerah pinggiran juga akan berdampak bagi kota.
Salah satunya, masalah kemacetan. Jalur jalan dari pinggiran ke kota akan mengalami kemacetan parah di pagi hari dan sore hari.
"Dalam jangka panjang akan merugikan kehidupan kota kita juga, karena itu akan membuat kota semakin macet, karena yang semula tinggal di tengah kota jadi ke pinggiran kota. Mereka mesti masuk ke kota dengan kendaraan dan membuat kemacetan," kata dia.
Adapun salah satu solusi mengatasi masalah kemiskinan dan peremajaan kota, menurut Deden, yakni mendorong warga untuk melakukan pembenahan lingkungan tempat tinggalnya secara mandiri.
Hal itu seperti yang dilakukan oleh warga Kampung Toplang, Jakarta Barat dan warga Penjaringan, Jakarta Utara.
Mereka mengelola sampah untuk dijadikan pupuk kompos yang kemudiannya bisa dijual.
"Aktifitas hijau tersebut merupakan pemberdayaan masyarakat miskin untuk meningkatkan kualitas lingkungan permukiman dan sekaligus menghentaskan kemiskinan," ujarnya.
Dalam sidang uji materi tersebut, Deden menjadi ahli dari pihak pemohon yang merupakan korban penggusuran oleh Pemerintah Daerah Jakarta.
Para pemohon itu yakni, Rojiyanto, warga Papanggo, Jakarta Utara; Mansur Daud warga kawasan Duri, Jakarta Barat; dan Rando Tanadi, pelajar yang mengaku terpaksa putus sekolah dan tak memiliki tempat tinggal akibat penggusuran tersebut.
Pemohon merasa dirugikan dengan ketentuan Pasal 2, Pasal 3 ayat 1 dan ayat 2, Pasal 4 ayat 1 dan ayat 2, Pasal 6 ayat 1 dan ayat 2 Perpu 51/1960 mengenai ketentuan kewenangan penguasa daerah yang dapat memaksa pengguna Iahan untuk mengosongkan Iahannya.
Menurut para Pemohon katentuan tersebut hanya dapat diterapkan pada negara dalam keadaan bahaya, bukan dalam situasi damai untuk melakukan penggusuran paksa terhadap warga Negara.
Pamohon juga menilai, pasal tersebut membuka peIuang keterlibatan angkatan perang di dalam penggusuran paksa yang dilaksanakan oleh pemda.
Pada prosesnya, penggusuran kerap disertai tindakan kekerasan terhadap warga negara yang menjadi korban penggusuran dan mangabaikan prosedur relokasi yang berlandaskan pada prinsip-prinsip HAM.
Selain Itu. kepemllikan tanah oleh para Pemohon sebagai warga negara yang sudah mendayagunakan tanah dalam jangka waktu lama juga dijamin oleh beberapa pasal dalam UU Nomor 5 Tahun 1960 tantang Paraturan Dasar Pokok Pokok Agraria yang menyatakan bahwa penelantaran tanah dapat mengakibatkan pada hapusnya kepemilikan ketentuan.
Dalam kasus-kasus penggusuran paksa, termasuk yang dialami oleh para pemohon, pemerintah sebagai pelaku penggusuran paksa juga tidak dapat menunjukkan bukti kepemilikannya yang sejalan dengan asas publisitas hukum agraria.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.