Tetapi hukum juga tidak boleh terlalu mengekang karena akan menghadirkan kekuasaan yang tiran. Hukum harus proporsional, mengatur tanpa terlalu membatasi.
Karena itu kita mereformasi Orde Baru. Kita ingin memperbaiki aturan yang terlalu longgar buat penguasa, tetapi terlalu ketat buat rakyat jelata. Itu sebabnya kita merubah UUD 1945.
Kekuasaan presiden yang terlalu besar kita batasi. Masa jabatan presiden yang tanpa batas waktu, kita maksimalkan hanya dua periode. Untuk mencegah presiden seumur hidup dan selalu dahaga kekuasaan. Karenanya, ide untuk kembali ke UUD 1945 sebelum perubahan, sebaiknya kita tolak.
Dalam reformasi UUD 1945, aturan yang mengekang kebebasan masyarakat kita longgarkan, perlindungan HAM kita tingkatkan.
Undang-undang Subversi yang penuh pasal karet, dan menjadi alat untuk menghajar lawan politik penguasa, kita cabut keberlakuannya dengan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 1999.
Ituah sebabnya, salah satu kebijakan politik-hukum Presiden Habibie adalah membebaskan para Tahanan Politik dan Narapidana Politik (Tapol/Napol).
Tetapi apakah semua orang lalu boleh bebas berpolitik tanpa aturan? Apakah setiap orang boleh bebas memperjuangkan politik disintegrasi? Tentu tidak.
Demokrasi tentu menghormati perbedaan pandangan politik. Tetapi Demokrasi juga lebih memilih integrasi (persatuan), ketimbang disintegrasi (perpecahan). Karena itu makar terhadap penguasa yang sah juga tidak boleh dilakukan, dan harus dipidana.
Namun, pertanyaannya, kapankah tindak pidana makar itu terjadi? Apakah mengkritik pemerintah adalah makar? Apakah mengirim surat kepada MPR, meminta wakil rakyat itu melakukan Sidang Istimewa untuk mengganti Presiden adalah makar?
Saya rasa, kalau ada satu atau sekelompok kecil orang dengan mengangkat pena—bukan senjata—mengkritik pemerintah, belumlah dapat dikatakan tindak pidana makar.
Tapi untuk lebih jelasnya, yang bisa menjawabnya adalah penegakan hukum yang profesional dan tidak koruptif. Bisa dengan putusan pengadilan, atau cukup dengan penghentian perkara jika memang yang terjadi pada faktanya hanyalah kriminalisasi politik.
Demikian pula halnya dengan kebebasan pers di zaman Orde Baru, yang dikatakan bebas bertanggungjawab, yang kenyataannya adalah kebebasan dengan ancaman bredel, ataupun hambatan SIUPP (Surat Izin Usaha Penerbitan Pers).
Di awal reformasi, aturan SIUPP dilonggarkan. Menteri Penerangan Yunus Yosfiah—yang notabene berlatar belakang militer—adalah salah satu pelopor hadirnya pers yang bebas.
Namun, apakah kebebasan pers sekarang bukan pada tahap kebablasan? Apakah keberadaan situs-situs berita online yang mereproduksi berita tanpa etika jurnalistik, atau bahkan menyebarkan berita hoax, tidak harus diatur?
Saya berpandangan, situs yang melanggar etika jurnalistik harus dijatuhkan sanksi oleh Dewan Pers, sebagaimana pengurus situs yang menyebarkan berita bohong dan berbahaya bisa dijerat dengan sanksi pidana berdasarkan UU Pers—kalau output kerjanya adalah karya jurnalistik.
Jikalaupun tidak dapat dianggap sebagai karya jurnalistik, maka bisa dijerat dengan pasal-pasal UU ITE atau KUHP yang relevan.
Organisasi Kemasyarakatan (Ormas) yang dulu tidak mudah didirikan, bahkan mudah dibubarkan sesuai aturan UU Nomor 8 Tahun 1985, sekarang lebih dijamin hidupnya dengan UU Nomor 17 Tahun 2013 tentang Ormas.
Jika sebelumnya pemerintah dapat langsung membubarkan suatu ormas, maka dengan undang-undang yang baru, prosesnya panjang dan berjenjang. Yaitu melalui penjatuhan sanksi administratif terlebih dahulu, sebelum dapat dimintakan pembubaran ke pengadilan negeri, yang putusannya hanya dapat dikasasi ke Mahkamah Agung.
Namun demikian, bukan berarti ormas dapat seenaknya berkebasan tanpa pembatasan. Pasal 59 ayat (2) undang-undang dengan jelas melarang ormas untuk:
a. melakukan tindakan permusuhan terhadap suku, agama, ras, atau golongan;
b. melakukan penyalahgunaan, penistaan, atau penodaan terhadap agama yang dianut di Indonesia;
c. melakukan kegiatan separatis yang mengancam kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia;
d. melakukan tindakan kekerasan, mengganggu ketenteraman dan ketertiban umum, atau merusak
e. fasilitas umum dan fasilitas sosial; atau
f. melakukan kegiatan yang menjadi tugas dan wewenang penegak hukum sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.