Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Denny Indrayana
Guru Besar Hukum Tata Negara

Advokat Utama INTEGRITY Law Firm; Guru Besar Hukum Tata Negara; Associate Director CILIS, Melbourne University Law School

Politik Berkuda, Hukum Keseimbangan, dan Peran Presiden Jokowi

Kompas.com - 19/01/2017, 17:31 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
Editor Wisnubrata

Tetapi hukum juga tidak boleh terlalu mengekang karena akan menghadirkan kekuasaan yang tiran. Hukum harus proporsional, mengatur tanpa terlalu membatasi.

Karena itu kita mereformasi Orde Baru. Kita ingin memperbaiki aturan yang terlalu longgar buat penguasa, tetapi terlalu ketat buat rakyat jelata. Itu sebabnya kita merubah UUD 1945.

Kekuasaan presiden yang terlalu besar kita batasi. Masa jabatan presiden yang tanpa batas waktu, kita maksimalkan hanya dua periode. Untuk mencegah presiden seumur hidup dan selalu dahaga kekuasaan. Karenanya, ide untuk kembali ke UUD 1945 sebelum perubahan, sebaiknya kita tolak.

Dalam reformasi UUD 1945, aturan yang mengekang kebebasan masyarakat kita longgarkan, perlindungan HAM kita tingkatkan.

Undang-undang Subversi yang penuh pasal karet, dan menjadi alat untuk menghajar lawan politik penguasa, kita cabut keberlakuannya dengan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 1999.

Ituah sebabnya, salah satu kebijakan politik-hukum Presiden Habibie adalah membebaskan para Tahanan Politik dan Narapidana Politik (Tapol/Napol).

Tetapi apakah semua orang lalu boleh bebas berpolitik tanpa aturan? Apakah setiap orang boleh bebas memperjuangkan politik disintegrasi? Tentu tidak.

Demokrasi tentu menghormati perbedaan pandangan politik. Tetapi Demokrasi juga lebih memilih integrasi (persatuan), ketimbang disintegrasi (perpecahan). Karena itu makar terhadap penguasa yang sah juga tidak boleh dilakukan, dan harus dipidana.

Namun, pertanyaannya, kapankah tindak pidana makar itu terjadi? Apakah mengkritik pemerintah adalah makar? Apakah mengirim surat kepada MPR, meminta wakil rakyat itu melakukan Sidang Istimewa untuk mengganti Presiden adalah makar?

Saya rasa, kalau ada satu atau sekelompok kecil orang dengan mengangkat pena—bukan senjata—mengkritik pemerintah, belumlah dapat dikatakan tindak pidana makar.

Tapi untuk lebih jelasnya, yang bisa menjawabnya adalah penegakan hukum yang profesional dan tidak koruptif. Bisa dengan putusan pengadilan, atau cukup dengan penghentian perkara jika memang yang terjadi pada faktanya hanyalah kriminalisasi politik.

Demikian pula halnya dengan kebebasan pers di zaman Orde Baru, yang dikatakan bebas bertanggungjawab, yang kenyataannya adalah kebebasan dengan ancaman bredel, ataupun hambatan SIUPP (Surat Izin Usaha Penerbitan Pers).

Di awal reformasi, aturan SIUPP dilonggarkan. Menteri Penerangan Yunus Yosfiah—yang notabene berlatar belakang militer—adalah salah satu pelopor hadirnya pers yang bebas.

Namun, apakah kebebasan pers sekarang bukan pada tahap kebablasan? Apakah keberadaan situs-situs berita online yang mereproduksi berita tanpa etika jurnalistik, atau bahkan menyebarkan berita hoax, tidak harus diatur?

Saya berpandangan, situs yang melanggar etika jurnalistik harus dijatuhkan sanksi oleh Dewan Pers, sebagaimana pengurus situs yang menyebarkan berita bohong dan berbahaya bisa dijerat dengan sanksi pidana berdasarkan UU Pers—kalau output kerjanya adalah karya jurnalistik.

Jikalaupun tidak dapat dianggap sebagai karya jurnalistik, maka bisa dijerat dengan pasal-pasal UU ITE atau KUHP yang relevan.

Organisasi Kemasyarakatan (Ormas) yang dulu tidak mudah didirikan, bahkan mudah dibubarkan sesuai aturan UU Nomor 8 Tahun 1985, sekarang lebih dijamin hidupnya dengan UU Nomor 17 Tahun 2013 tentang Ormas.

Jika sebelumnya pemerintah dapat langsung membubarkan suatu ormas, maka dengan undang-undang yang baru, prosesnya panjang dan berjenjang. Yaitu melalui penjatuhan sanksi administratif terlebih dahulu, sebelum dapat dimintakan pembubaran ke pengadilan negeri, yang putusannya hanya dapat dikasasi ke Mahkamah Agung.

Namun demikian, bukan berarti ormas dapat seenaknya berkebasan tanpa pembatasan. Pasal 59 ayat (2) undang-undang dengan jelas melarang ormas untuk:

a.            melakukan tindakan permusuhan terhadap suku, agama, ras, atau golongan;

b.            melakukan penyalahgunaan, penistaan, atau penodaan terhadap agama yang dianut di Indonesia;

c.             melakukan kegiatan separatis yang mengancam kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia;

d.            melakukan tindakan kekerasan, mengganggu ketenteraman dan ketertiban umum, atau merusak

e.            fasilitas umum dan fasilitas sosial; atau

f.             melakukan kegiatan yang menjadi tugas dan wewenang penegak hukum sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Halaman Berikutnya
Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Hadiri MIKTA Speakers’ Consultation Ke-10 di Meksiko, Puan: Kepemimpinan Perempuan adalah Kunci Kemajuan Negara

Hadiri MIKTA Speakers’ Consultation Ke-10 di Meksiko, Puan: Kepemimpinan Perempuan adalah Kunci Kemajuan Negara

Nasional
Polri Usulkan Penambahan Atase Kepolisian di Beberapa Negara

Polri Usulkan Penambahan Atase Kepolisian di Beberapa Negara

Nasional
Kopasgat Kerahkan 24 Sniper dan Rudal Chiron Amankan World Water Forum di Bali

Kopasgat Kerahkan 24 Sniper dan Rudal Chiron Amankan World Water Forum di Bali

Nasional
Sentil Prabowo yang Mau Tambah Kementerian, JK: Itu Kabinet Politis, Bukan Kabinet Kerja

Sentil Prabowo yang Mau Tambah Kementerian, JK: Itu Kabinet Politis, Bukan Kabinet Kerja

Nasional
Jelang Hari Jadi Ke-731, Pemkot Surabaya Gelar Berbagai Atraksi Spektakuler

Jelang Hari Jadi Ke-731, Pemkot Surabaya Gelar Berbagai Atraksi Spektakuler

BrandzView
Resmi Ditahan, Gus Muhdlor Punya Harta Rp 4,7 Miliar

Resmi Ditahan, Gus Muhdlor Punya Harta Rp 4,7 Miliar

Nasional
KPK Sebut Gus Muhdlor Terima Uang Korupsi Lewat Sopirnya

KPK Sebut Gus Muhdlor Terima Uang Korupsi Lewat Sopirnya

Nasional
Polri Tangkap 142 Tersangka hingga Blokir 2.862 Situs Judi Online

Polri Tangkap 142 Tersangka hingga Blokir 2.862 Situs Judi Online

Nasional
Cuaca di Arab Sangat Panas, Ma'ruf Amin: Jangan Sampai Jemaah Haji Meninggal Kepanasan

Cuaca di Arab Sangat Panas, Ma'ruf Amin: Jangan Sampai Jemaah Haji Meninggal Kepanasan

Nasional
Prabowo Diminta Hindari Kepentingan Bagi-bagi Kursi, Jika Tambah Jumlah Kementerian

Prabowo Diminta Hindari Kepentingan Bagi-bagi Kursi, Jika Tambah Jumlah Kementerian

Nasional
Ada Wacana Duet dengan Ahok di Pilkada DKI, Anies: Memutuskan Saja Belum

Ada Wacana Duet dengan Ahok di Pilkada DKI, Anies: Memutuskan Saja Belum

Nasional
Anies Ingin Memastikan Pilkada Berjalan Jujur dan Bebas Intervensi Sebelum Tentukan Langkah

Anies Ingin Memastikan Pilkada Berjalan Jujur dan Bebas Intervensi Sebelum Tentukan Langkah

Nasional
Kegiatan Ibadah Mahasiswa di Tangsel Dibubarkan Warga, Menko Polhukam Minta Saling Menghormati

Kegiatan Ibadah Mahasiswa di Tangsel Dibubarkan Warga, Menko Polhukam Minta Saling Menghormati

Nasional
JK: Pelanggar UU Lebih Tidak Boleh Masuk Pemerintahan Ketimbang Orang 'Toxic'

JK: Pelanggar UU Lebih Tidak Boleh Masuk Pemerintahan Ketimbang Orang "Toxic"

Nasional
Tanggapi Luhut soal Orang 'Toxic', Anies: Saya Hindari Diksi Merendahkan atas Perbedaan Pandangan

Tanggapi Luhut soal Orang "Toxic", Anies: Saya Hindari Diksi Merendahkan atas Perbedaan Pandangan

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com