Sehingga jika ada salah satu saja dari larangan itu yang dilanggar, maka ormas demikian dapat dibubarkan.
Namun, saya berpandangan pembubaran ormas sebaiknya dipikirkan matang-matang. Selain berpotensi melanggar kebebasan berorganisasi, dan bisa disalahgunakan oleh penguasa yang lalim. Saya lebih setuju jika yang dihukum bukan organisasinya, tetapi orang atau pelaku kejahatannya.
Jika ormasnya yang dibubarkan, maka pengurus dan anggotanya dapat dengan leluasa membuat ormas baru, mungkin dengan nama yang sedikit berubah.
Namun, jika tokoh dan anggotanya yang melakukan tindak pidana yang dimasukkan penjara, saya optimis sanksi hukum demikian akan lebih efektif.
Sebagai penutup pada bagian contoh ini, saya juga ingin mengulas lagi perdebatan terkait ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold) dan ambang batas keanggotaan di parlemen (parliamentary threshold).
Sebagaimana telah saya tuliskan dalam catatan kamisan minggu lalu, saya berpandangan meninggikan lagi ambang batas syarat presiden bukanlah pilihan. Tetapi meniadakannya sama sekali juga terlalu membebaskan.
Baca: Pertarungan Syarat Menjadi Presiden
Ingat, kata kuncinya adalah aturan dengan keseimbangan. Ambang batas tetap diperlukan tetapi dengan besaran yang proporsional.
Syarat pencalonan presiden yang sekarang minimal 25% perolehan suara nasional atau 20% perolehan kursi DPR ada baiknya diturunkan, agar membuka ruang bagi makin banyaknya calon presiden.
Sedangkan ambang batas syarat kursi di DPR yang sekarang 3,5% ada baiknya dinaikkan agar makin mendorong sistem bernegara kita menuju sistem kepartaian yang sederhana.
Peran Vital Presiden
Pada akhirnya, kemanakah arah politik legislasi hukum akan berjalan, apa ramuan hukum antara membatasi dan membebaskan itu akan sangat dipengaruhi oleh orang terkuat di republik: Sang Presiden.
Peran Jokowi sebagai negarawan dengan segala sumber daya dan mandat kepresidenan yang dimilikinya harus mampu dimaksimalkan untuk mengarahkan keseimbangan hukum.
Presiden harus menjadi Panglima Tertinggi di tengah hukum yang sekarang diombang-ambingkan antara banyak kepentingan politik, misalnya Pilgub Jakarta.
Ketika kebhinnekaan sedang dipertaruhkan, maka Presiden mesti berada di depan untuk menegaskan “NKRI Tanpa Koma”.
Ketika semua isu sensitif seperti agama, etnis, antikomunis, digelontorkan; maka Presiden harus berada di garda depan menentukan arah kebijakan hukum yang adil dan seimbang antara membebaskan dan membatasi.
Kepada yang anarkis tegakkan hukum setegas mungkin. Kepada yang kritis, berikan kebebasan untuk menyatakan pendapat tanpa perlu khawatir dipidana makarkan.
Pada akhirnya, Presiden berkewajiban menunjukkan hukum yang seimbang antara membebaskan dan membatasi adalah hukum yang memang tahu menempatkan diri sesuai kebutuhan masyarakatnya.
Meskipun, jangan lupa, hukum juga adalah hasil dialektika kebutuhan masyarakat itu sendiri. Atau, dalam proses legislasi, hukum adalah hasil deliberasi dari berbagai aspirasi masyarakat yang diperdebatkan oleh perwakilan politik di parlemen.
Bahkan, pada titik tertentu, ramuan hukum antara yang membebaskan dan membatasi itu mungkin tidak akan pernah menemukan adonannya yang pas dan seimbang.
Misalnya, dalam hal mengatur soal agama, maka ujung surat Al Kafirun menegaskan, “Bagimu agamamu, bagiku agamaku”. Justru, ayat itulah yang menjadi manifestasi dari puncak dialog keagamaan, yaitu dengan saling menjaga dan menghormati sebagai sesama insan manusia yang ber-Tuhan.
Keep on fighting for the better Indonesia.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.