Untuk itu, proses verifikasi badan hukum oleh Kemenkumham dan verifikasi parpol peserta pemilu oleh KPU akan menjadi kunci, dan tentunya perdebatan hangat lainnya di parlemen.
Kelima, syarat ambang batas presiden dihapuskan. Pilihan ini akan didukung oleh partai-partai kecil di DPR bersama-sama dengan partai-partai baru peserta pemilu.
Untuk opsi terakhir ini, salah satu keuntungannya adalah memungkinkan banyak capres dan munculnya tokoh alternatif yang mungkin tidak didukung oleh partai-partai utama.
Namun, kelemahannya adalah, tokoh populer yang tidak mendapatkan dukungan parpol itu, jika terpilih, akan menghadapi tentangan dan tantangan yang tentunya tidak mudah dari parlemen, dan karenanya berpotensi kesulitan menjaga efektivitas pemerintahannya.
Di antara lima opsi itu, saya berpendapat, yang lebih baik dan moderat adalah menerapkan syarat ambang batas berdasarkan parpol peserta pemilu lima tahun sebelumnya yang berhasil memperoleh kursi di DPR, atau opsi ketiga.
Memang, opsi ini akan menutup kemungkinan partai kecil yang tidak lolos parliamentary threshold ataupun partai baru untuk mengajukan capres. Namun, saya berpandangan, hal demikian adalah wajar.
Bagaimanapun, parpol yang akan mencalonkan presiden tetap harus menunjukkan level dukungan yang tidak rendah dari rakyat.
Parpol yang tidak lolos ambang batas kursi parlemen artinya tidak didukung oleh rakyat, dan pasti akan kesulitan untuk membela presiden yang mereka usulkan. Demikian pula partai yang baru ikut pemilu, sangat wajar untuk membuktikan bahwa mereka didukung rakyat sebelum berhak mengajukan pemimpin nasional.
Biasanya, usulan menghilangkan ambang batas akan dikampanyekan dengan cara yang menarik dan populer. Usulan ini akan menarik di tengah minimnya kepercayaan publik pada parpol. Namun, secara hukum, dalam sejarahnya, putusan MK tidak pernah membatalkan syarat ambang batas.
Mahkamah selalu memutuskan bahwa ambang batas presiden (presidential threshold), ambang batas kursi parlemen (parliamentary threshold), ambang batas peserta pileg (electoral threshold), dan ambang batas pilkada (local leaders threshold) tidak bertentangan dengan UUD 1945.
Saya setuju dengan itu. Bagaimanapun dalam setiap kompetisi harus ada aturan main.
Tanpa ambang batas kursi parlemen, kita akan terus kesulitan untuk menyederhanakan sistem kepartaian dan akan terus terjebak dengan sistem multipartai.
Demikian pula, tanpa ambang batas presiden yang tepat, kita akan terjebak dengan sistem presiden yang tidak efektif karena tidak mendapatkan dukungan mayoritas politik di DPR (political support), meskipun mungkin saja mendapatkan dukungan pemilih yang mayoritas (electoral support).
Akhirnya, mari kita kawal proses legislasi UU kepemiluan di DPR, termasuk mengenai ambang batas syarat presiden agar proses dan hasilnya makin menguatkan dan mematangkan demokrasi kita yang antikorupsi.
Keep on fighting for the better Indonesia.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.