Tidak menjadi ahli hukum positivisme—yang hanya tergantung pada teks—adalah pilihan dan kecenderungan saya. Namun, interpretasi progresif tetap harus tunduk pada teks hukum yang sangat jelas dan memang seharusnya tidak dimaknai lain, salah satunya soal pencapresan oleh parpol tersebut.
Kembali pada ambang batas presiden, aturan ini mau tidak mau harus berubah dengan serentaknya pelaksanaan pilpres dan pileg. Sebelumnya, dengan pelaksanaan pileg yang mendahului pilpres, maka presidential threshold disyaratkan berdasarkan hasil pileg, yaitu perolehan minimal 25 persen suara secara nasional atau perolehan kursi minimal 20 persen di DPR.
Namun, dengan pilpres dan pileg yang bersamaan, model persyaratan demikian tidak dapat lagi dilaksanakan.
Lalu bagaimana alternatif pilihannya? Saya membayangkan paling tidak ada lima opsi yang akan muncul.
Pertama, syarat ambang batas capres dihitung berdasarkan hasil pileg lima tahun sebelumnya. Jadi, untuk Pilpres 2019, presidential threshold dihitung berdasarkan hasil Pileg 2014.
Dugaan saya, besaran angkanya tidak berubah, atau kalaupun berubah tidak banyak, yaitu perolehan suara nasional minimal 25 persen atau perolehan kursi DPR minimal 20 persen. Pendukung usulan ini adalah partai-partai besar pemenang Pileg 2019, seperti PDI Perjuangan, Golkar, Gerindra, dan Demokrat.
Karena dukungan partai-partai besar itu, opsi pertama ini punya kans besar untuk memenangi pertarungan. Namun, opsi ini sebenarnya mempunyai satu kelemahan konseptual mendasar.
Ambang batas presiden yang dikaitkan dengan perolehan suara atau kursi DPR dimaksudkan untuk menjaga efektivitas pemerintahan. Hal demikian hanya relevan jika hasil pileg yang digunakan tidak jauh berjarak dengan pelaksanaan pilpres.
Hasil pileg lima tahun yang lalu belum tentu menggambarkan realitas politik lima tahun kemudian. Dukungan politik sangat mungkin berubah, dan menyebabkan presiden terjebak pada pemerintahan yang tidak efektif karena ambang batas yang digunakan sudah kedaluwarsa.
Belum lagi, koalisi politik bisa jadi berubah. Lawan politik bisa jadi kawan politik, atau sebaliknya. Maka dari itu, mendasarkan presidential threshold pada pileg lima tahun sebelumnya sangat mungkin bertentangan dengan dinamika politik terkini, dan karenanya berpotensi menimbulkan komplikasi politik.
Kedua, ambang batas presiden tetap didasarkan pada pileg lima tahun sebelumnya, tetapi dengan syarat yang jauh lebih mudah, yaitu setiap partai peserta pileg lima tahun sebelumnya dapat mencalonkan presiden.
Misalnya, untuk Pilpres 2019, semua parpol peserta Pileg 2014 dapat mengajukan calon presiden, yaitu dua belas parpol.
Ketiga, tetap menggantungkan pada pileg sebelumnya, tetapi lebih ketat. Dalam hal ini, setiap partai peserta pileg lima tahun sebelumnya yang berhasil memperoleh kursi di DPR dapat mencalonkan presiden.
Maka dari itu, untuk Pilpres 2019, ada sepuluh parpol yang dapat mencalonkan presiden, yaitu peserta Pileg 2014 minus PBB dan PKPI karena keduanya tidak lolos ambang batas perolehan kursi parlemen (parliamentary threshold).
Keempat, setiap parpol peserta pileg pada saat yang sama dapat mencalonkan presiden. Artinya, yang dapat mencalonkan pada Pilpres 2019 adalah parpol peserta Pileg 2019.