Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Apa Urgensinya Badan Siber Nasional untuk Indonesia?

Kompas.com - 11/01/2017, 06:59 WIB
Kristian Erdianto

Penulis

Dia menyebutkan, ada pihak-pihak tertentu yang berupaya membobol rekening perusahaan yang tercatat di bank-bank tertentu.

Dia mencontohkan kasus yang cukup banyak terjadi yakni Anjungan Tunai Mandiri (ATM) Scamming.

Pelaku masuk ke dalam sistem perbankan dan memindahkan sejumlah uang ke satu rekening tanpa bisa dideteksi oleh pihak bank.

Umumnya, pelaku ATM scamming berasal dari dalam dan luar negeri.

Selain itu ada juga kasus "Nigerian Scamming".

Pelaku yang berasal dari Nigeria, meretas sebuah email pribadi kemudian mengirimkan surat elektronik atas nama pemilik email tersebut.

Mereka berpura-pura sebagai rekan bisnis dan meminta sejumlah uang atau mengirimkan invoice (surat tagihan) palsu kepada sebuah perusahaan.

Menurut praktisi digital forensik yang tergabung dalam Tim Desk Ketahanan dan Keamanan Informasi Cyber Nasional Kemenko Polhukam itu, kerugian yang timbul mencapai Rp 500 miliar per tahun dari serangan tersebut.

"Kami sudah pernah bicara dengan BI (Bank Indonesia) dan OJK (Otoritas Jasa Keuangan), ada pihak asing yang menggunakan dan menggerus transaksi perbankan. Satu rekening bisa dibobol hingga miliaran rupiah. Kami sudah mengendusnya 1 atau 2 tahun belakangan," papar dia.

Secara terpisah Komisioner Pengawas Industri Keuangan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Dumoly Freddy Pardede mengatakan, pemerintah perlu memperkuat sistem keamanan teknologi di dunia perbankan.

Pasalnya, serangan siber yang terjadi seringkali disebabkan oleh kelemahan sistem pertahanan.

"Indonesia perlu memperkuat sistem teknologinya untuk menyesuaikan terhadap perkembangan, misal serangan virus. Hal seperti itu memang harus selalu ada perbaikan di sistem," ujar Dumoly, saat dihubungi, Selasa (10/1/2017).

Dumoly menjelaskan, cyber attack yang terjadi selama ini umumnya berupa virus.

Virus tersebut diciptakan oleh seseorang dengan tujuan merusak atau mencuri data perbankan orang lain.

Selain pencurian, data virus itu juga bisa memanipulasi data.

Akibatnya, pelaku bisa melihat jumlah saldo rekening bank seseorang kemudian mengosongkannya.

Menurut Dumoly, beberapa bank pernah melaporkan kejadian seperti itu, meski bank selalu berdalih menggunakan alasan gangguan sistem.

"Tapi, itu juga bisa karena ada tindakan dari orang lain. Itu sangat mungkin karena itu menyangkut daya tahan teknologi informasi. Kalau diutak-atik orang, dibuka rekeningnya, dilihat saldonya, bisa ditransferkan. Ngeri juga kan," kata dia.

Perang Siber

Selain serangan terhadap dunia perbankan, Ruby juga mengungkapkan adanya fenomena perang siber (cyber war) seperti yang terjadi antara Rusia dan Amerika saat pemilu presiden beberapa waktu lalu.

Perang siber ini juga berpotensi terjadi di Indonesia.

Penyebaran berita hoax yang disebut berpengaruh terhadap kemenangan terhadap kemenangan Trump justru bermula dari penyebaran malware di masyarakat Amerika Serikat.

Malware tersebut awalnya mengambil data pribadi dan data perbankan seluruh masyarakat secara ilegal.

"Cyber war antara Rusia dan USA kami sinyalir juga terjadi di indonesia. Ada laporan dari FBI dan CIA. Awalnya kepentingan ekonomi, akhirnya bisa jadi kepentingan politik seperti terjadi di Amerika sekarang. Modusnya sama dengan yang terjadi di indonesia. Bayangkan USA sudah punya NSA saja masih bisa dibobol," ujar Ruby.

Untuk mengantisipasi hal tersebut, Ruby berharap Badan SIber Nasional memiliki kewenangan yang komprehensif.

Artinya, badan itu tidak sekadar menjalankan fungsi koordinasi antara badan siber yang sudah ada di beberapa Kementerian/Lembaga.

Badan Siber Nasional harus memiliki kewenangan memblokir, menganalisa, memonitor, dan memberi masukan kepada instansi pemerintah lainnya.

"Saya harap Basinas menjadi badan yang beranggotakan multi stakeholder dan fokus juga pada keamanan teknologi perbankan. Fungsinya komprehensif dan koordinatif. Jika hanya untuk meredam berita hoax, menurut saya salah kaprah," kata dia.

Hal senada juga diungkapkan oleh Direktur Eksekutif Indonesia ICT Institute, Heru Sutadi.

Menurut dia, masih banyak situs, baik milik pemerintah maupun swasta, tidak memiliki sistem pertahanan yang baik ketika mengalami serangan siber.

Saat Indonesia terlibat serangan perang siber pada 2013 lalu, peretas Australia berhasil membuat sejumlah situs down, antara lain situs milik Garuda Indonesia, Bank Indonesia, Polri, dan Kemenkumham.

"Banyak situs-situs kita ini tidak siap dan tidak ada yang menghalau ketika diserang dari luar negeri," ujar Heru. 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Tanggal 8 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Tanggal 8 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Nasional
 PAN Nilai 'Presidential Club' Sulit Dihadiri Semua Mantan Presiden: Perlu Usaha

PAN Nilai "Presidential Club" Sulit Dihadiri Semua Mantan Presiden: Perlu Usaha

Nasional
Gibran Ingin Konsultasi ke Megawati untuk Susun Kabinet, Politikus PDI-P: Itu Hak Prerogatif Pak Prabowo

Gibran Ingin Konsultasi ke Megawati untuk Susun Kabinet, Politikus PDI-P: Itu Hak Prerogatif Pak Prabowo

Nasional
LPAI Harap Pemerintah Langsung Blokir 'Game Online' Bermuatan Kekerasan

LPAI Harap Pemerintah Langsung Blokir "Game Online" Bermuatan Kekerasan

Nasional
MBKM Bantu Satuan Pendidikan Kementerian KP Hasilkan Teknologi Terapan Perikanan

MBKM Bantu Satuan Pendidikan Kementerian KP Hasilkan Teknologi Terapan Perikanan

Nasional
PAN Siapkan Eko Patrio Jadi Menteri di Kabinet Prabowo-Gibran

PAN Siapkan Eko Patrio Jadi Menteri di Kabinet Prabowo-Gibran

Nasional
Usai Dihujat Karena Foto Starbucks, Zita Anjani Kampanye Dukung Palestina di CFD

Usai Dihujat Karena Foto Starbucks, Zita Anjani Kampanye Dukung Palestina di CFD

Nasional
Kemenag: Jangan Tertipu Tawaran Berangkat dengan Visa Non Haji

Kemenag: Jangan Tertipu Tawaran Berangkat dengan Visa Non Haji

Nasional
'Presidential Club' Dinilai Bakal Tumpang Tindih dengan Wantimpres dan KSP

"Presidential Club" Dinilai Bakal Tumpang Tindih dengan Wantimpres dan KSP

Nasional
Soal Presidential Club, Pengamat: Jokowi Masuk Daftar Tokoh yang Mungkin Tidak Akan Disapa Megawati

Soal Presidential Club, Pengamat: Jokowi Masuk Daftar Tokoh yang Mungkin Tidak Akan Disapa Megawati

Nasional
Gaya Politik Baru: 'Presidential Club'

Gaya Politik Baru: "Presidential Club"

Nasional
Kemenag Rilis Jadwal Keberangkatan Jemaah Haji, 22 Kloter Terbang 12 Mei 2024

Kemenag Rilis Jadwal Keberangkatan Jemaah Haji, 22 Kloter Terbang 12 Mei 2024

Nasional
Luhut Minta Orang 'Toxic' Tak Masuk Pemerintahan, Zulhas: Prabowo Infonya Lengkap

Luhut Minta Orang "Toxic" Tak Masuk Pemerintahan, Zulhas: Prabowo Infonya Lengkap

Nasional
PDI-P Yakin Komunikasi Prabowo dan Mega Lancar Tanpa Lewat 'Presidential Club'

PDI-P Yakin Komunikasi Prabowo dan Mega Lancar Tanpa Lewat "Presidential Club"

Nasional
Zulhas: Semua Mantan Presiden Harus Bersatu, Apalah Artinya Sakit Hati?

Zulhas: Semua Mantan Presiden Harus Bersatu, Apalah Artinya Sakit Hati?

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com