Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Agus Suntoro
Peneliti BRIN

Penulis adalah Koordinator Kelompok Riset Hukum Lingkungan, Sumber Daya Alam dan Perubahan Iklim, pada Pusat Riset Hukum Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN).

"Jokowi Undercover", Tantangan Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis?

Kompas.com - 09/01/2017, 09:05 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
EditorAmir Sodikin

BADAN Reserse Kriminal Mabes Polri menangkap Bambang Tri Mulyono, penulis buku Jokowi Undercover pada Jumat, 31 Desember 2016.

Penangkapan ini dilakukan setelah adanya penyelidikan dugaan penyebaran informasi berisi ujaran kebencian terhadap Presiden Joko Widodo yang ditulis dalam bukunya (Kompas, 1 Januari 2017).

Salah satu alasan penahanan tersebut adalah tindak pidana yang diancam dalam Pasal 16 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis yang ancaman pidannya paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 500 juta (Tempo, 1 Januari 2017).

Komitmen penghapusan diskriminasi ras dan etnis

Pada 10 Desember 1948, masyarakat Internasional yang bergabung dalam Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) sepakat untuk menyetujui Universal Declaration on Human Rights (DUHAM).

Di dalam Pasal 2 DUHAM menegaskan bahwa dunia internasional tidak mentolerir perbuatan diskriminasi, yaitu dengan menyatakan bahwa setiap orang berhak atas semua hak dan kebebasan yang tercantum di dalam DUHAM tanpa adanya perbedaan dalam bentuk apapun.

Misalnya berdasarkan perbedaan ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, keyakinan politik atau keyakinan lainnya, asal usul kebangsaan dan sosial, hak milik, kelahiran, atau status lainnya.

Komitmen ini terus diseriusi yang kemudian melahirkan International Convention on The Elimination of All Forms of Racial Discrimination (Konvensi Internasional Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Ras) pada 4 Januari 1949.

Kovensi ini diterima dan terbuka untuk pendatanganan dan pengesahan oleh Resolusi PBB No 2106 (XX) 21 Desember 1965.

Indonesia menandatangani Konvensi Internasional Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Ras tersebut pada 25 Mei 1999 melalui Undang-Undang No 29 Tahun 1999.

Dengan penandatanganan tersebut, Indonesia terikat secara hukum dengan ketentuan yang ada di dalam Konvensi dan wajib segera melaksanakannya.

Sebagai implementasi dan wujud komitmen tersebut, maka Indonesia pada 2008 telah menerbitkan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis.

Ada 3 (tiga) pertimbangan pokok atas lahirnya UU tersebut.

Pertama, bahwa segala tindakan diskriminasi ras dan etnis bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia.

Kedua, segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan berhak atas perlindungan terhadap setiap bentuk diskriminasi ras dan etnis.

Ketiga, adanya diskriminasi ras dan etnis dalam kehidupan bermasyarakat merupakan hambatan bagi hubungan kekeluargaan, persaudaraan, persahabatan, perdamaian, keserasian, keamanan, dan kehidupan bermata pencaharian di antara warga negara yang pada dasarnya selalu hidup berdampingan.

Untuk mensistematisasikan dan objektivitas dalam proses pengawasan atas tindakan diskriminasi, Pasal 2 UU Nomor 40 Tahun 2008 telah meberikan batasan tindakan diskriminasi berupa:

Satu, memperlakukan pembedaan, pengecualian, pembatasan, atau pemilihan berdasarkan pada ras dan etnis, yang mengakibatkan pencabutan atau pengurangan pengakuan, perolehan, atau pelaksanaan hak asasi manusia dan kebebasan dasar dalam suatu kesetaraan di bidang sipil, politik, ekonomi, sosial, dan budaya; atau:

Kedua, menunjukkan kebencian atau rasa benci kepada orang karena perbedaan ras dan etnis, yang berupa perbuatan:

(1) membuat tulisan atau gambar untuk ditempatkan, ditempelkan, atau disebarluaskan di tempat umum atau tempat lainnya yang dapat dilihat atau dibaca oleh orang lain;

(2) berpidato, mengungkapkan, atau melontarkan kata-kata tertentu di tempat umum atau tempat lainnya yang dapat didengar orang lain;

(3) mengenakan sesuatu pada dirinya berupa benda, kata-kata, atau gambar di tempat umum atau tempat lainnya yang dapat dibaca oleh orang lain; atau

(4) melakukan perampasan nyawa orang, penganiayaan, pemerkosaan, perbuatan cabul, pencurian dengan kekerasan, atau perampasan kemerdekaan berdasarkan diskriminasi ras dan etnis.

Sedangkan mandatori kelembagaan yang diberikan mandat dalam pengawasan diskriminasi Ras dan Etnis sesuai ketentuan Pasal 8 ayat (1) UU Nomor 40 Tahun 2008 tentang Pengapusan Diskriminasi Ras dan Etnis juncto Pasal 2 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 2010 Tentang Tata Cara Pengawasan Terhadap Upaya Penghapusan Diskriminasi Ras Dan Etnis adalah Komisi Nasional Hak Asasi Manusia RI (Komnas HAM) RI.

Objektivitas penanganan praktik diskriminasi ras dan etnis, sebetulnya adalah menjadi subsistem dari diskriminasi yang terjadi secara umum dalam konsep di Indonesia yang telah dikenal sebelumnya yaitu Suku, Agama, Ras dan Antar Golongan (SARA).

Dalam konteks HAM, diskirminasi sangat luas maknanya dan dilarang dalam bentuk apapun, berdasarkan perbedaan ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, keyakinan politik atau keyakinan lainnya, asal usul kebangsaan dan sosial, hak milik, kelahiran, atau status lainnya.

Salah satu faktor berkembangnya praktik diskriminasi ras dan etnis, serta merendahkan martabat kemanusiaan (pribadi seseorang), adalah penggunaan media sosial yang tidak bertanggung jawab.

Puncaknya, mulai tercermin luas pada peristiwa Pemilu Presiden – Wakil Presiden 2014. Tidak hanya menyerang pasangan Joko Widodo – Jusuf Kalla, akan tetapi juga menimpa pasangan Prabowo Subianto – M Hatta Rajasa.

Berbagai praktik tersebut telah terangkum dalam Laporan Pemenuhan Hak Konstitusional Warga Negara dalam Pilpres 2014 oleh Komnas HAM RI sebagai hasil pantauan pelaksanaan Pilpres di lebih dari 20 (dua puluh) provinsi di Indonesia.

Kasus Obor Rakyat menjadi salah satu contohnya. Situasi inilah yang sebetulnya mulai dipahami oleh berbagai pihak, termasuk Kepolisian RI, Bawaslu RI, dan KPU RI.

Disadari bahwa tantangan utama dalam pembangunan demokrasi, terutama dalam aspek Pemilu dan Pilkada tidak saja menyangkut aspek teknis penyelenggaraan akan tetapi justru faktor-faktor eksternal terutama wabah ujaran kebencian atas dasar ras dan etnis melalui media sosial.

Jika tidak ditangani dengan baik, maka dapat memicu lahirnya konflik horizontal yang sangat membahayakan bagi integrasi bangsa.

Kondisi dan situasi inilah yang dimungkinkan menjadi pendorong Kepolisian RI menerbitkan Surat Edaran Nomor: SE/6/2015 Tentang Penanganan Ujaran Kebencian (hate speech) pada 8 Oktober 2015.

Acuan lahirnya SE adalah KUHP, UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elekronik, serta UU Nomor 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis.

Lahirnya surat edaran ini dimaksudkan agar menjadi panduan kepada Anggota Polri agar memahami jika ada kasus ujaran kebencian di masyarakat, guna mencegah terjadinya konflik dengan mengedepankan perdamain.

Jika tidak bisa dilakukan pengendalian maka diambil tindakan hukum. Meskipun demikian, dengan berbagai aktivitas di media sosial dan beberapa tulisan (buku), kiranya Kepolisian RI tidak gegabah dalam memeriksa dan menggunakan upaya paksa (menangkap dan menahan) seseorang yang dituduh menyebarluaskan ujuran kebencian, terutama atas dasar ras dan etnis.

Sangat objektif bila dapat menerima masukan dan bekerjasama dengan lembaga-lembaga lain yang diberikan mandatori dalam pengawasannya melalui perundang-undangan yang sah.

Mengingat, jangan sampai upaya baik yang dilakukan untuk merawat persaudaraan, kerukunan, dan demokrasi di Indonesia dengan menegakan hukum, akan dinilai sebagai bagian dari upaya rezim yang berkuasa jika tidak dilakukan secara objektif dan menjunjung tinggi HAM.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Tanggal 1 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Tanggal 1 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Nasional
Tanggal 30 April 2024 Memperingati Hari Apa?

Tanggal 30 April 2024 Memperingati Hari Apa?

Nasional
Pengamat: Nasib Ganjar Usai Pilpres Tergantung PDI-P, Anies Beda karena Masih Punya Pesona Elektoral

Pengamat: Nasib Ganjar Usai Pilpres Tergantung PDI-P, Anies Beda karena Masih Punya Pesona Elektoral

Nasional
Defend ID Targetkan Tingkat Komponen Dalam Negeri Alpalhankam Capai 55 Persen 3 Tahun Lagi

Defend ID Targetkan Tingkat Komponen Dalam Negeri Alpalhankam Capai 55 Persen 3 Tahun Lagi

Nasional
TNI AL Kerahkan 3 Kapal Perang Korvet untuk Latihan di Laut Natuna Utara

TNI AL Kerahkan 3 Kapal Perang Korvet untuk Latihan di Laut Natuna Utara

Nasional
Dampak Eskalasi Konflik Global, Defend ID Akui Rantai Pasokan Alat Pertahanan-Keamanan Terganggu

Dampak Eskalasi Konflik Global, Defend ID Akui Rantai Pasokan Alat Pertahanan-Keamanan Terganggu

Nasional
PKS Klaim Punya Hubungan Baik dengan Prabowo, Tak Sulit jika Mau Koalisi

PKS Klaim Punya Hubungan Baik dengan Prabowo, Tak Sulit jika Mau Koalisi

Nasional
Tak Copot Menteri PDI-P, Jokowi Dinilai Pertimbangkan Persepsi Publik

Tak Copot Menteri PDI-P, Jokowi Dinilai Pertimbangkan Persepsi Publik

Nasional
Pengamat: Yang Berhak Minta PDI-P Cabut Menteri Hanya Jokowi, TKN Siapa?

Pengamat: Yang Berhak Minta PDI-P Cabut Menteri Hanya Jokowi, TKN Siapa?

Nasional
Klarifikasi Unggahan di Instagram, Zita: Postingan Kopi Berlatar Belakang Masjidilharam untuk Pancing Diskusi

Klarifikasi Unggahan di Instagram, Zita: Postingan Kopi Berlatar Belakang Masjidilharam untuk Pancing Diskusi

Nasional
PDI-P “Move On” Pilpres, Fokus Menangi Pilkada 2024

PDI-P “Move On” Pilpres, Fokus Menangi Pilkada 2024

Nasional
Sandiaga Usul PPP Gabung Koalisi Prabowo-Gibran, Mardiono: Keputusan Strategis lewat Mukernas

Sandiaga Usul PPP Gabung Koalisi Prabowo-Gibran, Mardiono: Keputusan Strategis lewat Mukernas

Nasional
Rakernas PDI-P Akan Rumuskan Sikap Politik Usai Pilpres, Koalisi atau Oposisi di Tangan Megawati

Rakernas PDI-P Akan Rumuskan Sikap Politik Usai Pilpres, Koalisi atau Oposisi di Tangan Megawati

Nasional
Bareskrim Periksa Eks Gubernur Bangka Belitung Erzaldi Rosman Terkait Kasus Dokumen RUPSLB BSB

Bareskrim Periksa Eks Gubernur Bangka Belitung Erzaldi Rosman Terkait Kasus Dokumen RUPSLB BSB

Nasional
Lempar Sinyal Siap Gabung Koalisi Prabowo, PKS: Kita Ingin Berbuat Lebih untuk Bangsa

Lempar Sinyal Siap Gabung Koalisi Prabowo, PKS: Kita Ingin Berbuat Lebih untuk Bangsa

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com