SEBENTAR lagi, tahun 2016 berlalu dan kita menyongsong era 2017. Harapan dan optimisme perlu dikembangkan lagi.
Meski demikian, melihat realitas pelanggaran HAM pada 2016 lalu, rasanya cukup berlebihan jika meminta terlalu tinggi dari pemerintahan era Joko Widodo – Jusuf Kalla dalam penuntasan pelanggaran HAM di Indonesia.
Diakui situasi HAM di Indonesia pada 2016 belum terlalu menggembirakan, serangkaian catatan pelanggaran terus saja berkelindan. Kondisi ini sebenarnya disadari oleh pemerintah dalam peringatan hari HAM pada 10 Desember 2016 lalu.
Secara tegas disampaikan catatan pelanggaran HAM yang masih terjadi, di antaranya terkait dengan problem kebebasan beragama, pelanggaran hak-hak masyarakat adat, praktik perdagangan manusia, kejahatan seksual terhadap anak-anak, serta yang paling menyakitkan belum adanya penuntasan peristiwa pelanggaran HAM yang berat di 2016.
Penuntasan pelanggaran HAM yang berat
Dalam UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM disebutkan bahwa pelanggaran HAM yang berat di Indonesia terbagi dalam 2 (dua) kategori, yaitu kejahatan terhadap kemanusiaan dan genosida.
Sampai saat ini, sekurang-kurangnya masih ada 7 (tujuh) kasus pelanggaran HAM yang berat yang penuntasannya belum menunjukan hasil yang menggembirakan di Indonesia.
Beberapa kasus di antaranya Peristiwa 1965 -1966, Peristiwa Penembakan Misterius 1982 -1985, Peristiwa Talangsari 1989, Peristiwa Penghilangan Orang Secara Paksa, Peristiwa Kerusuhan Mei 1998, Peristiwa Triksakti, Semanggi I dan Semanggi II, dan Peristiwa Wasior dan Wamena.
Belum lagi, Peristiwa Paniai 2014 yang masih dalam penyelidikan Komnas HAM dan meletus beberapa bulan setelah pelantikan Presiden Joko Widodo – Jusuf Kalla.
Sebetulnya, upaya penuntasan pelanggaran HAM yang berat ini menjadi salah satu program kerja yang ditawarakan oleh pemerintaahan Joko Widodo – Jusuf Kalla dalam pemerintahannya.
Hal ini juga tercermin dalam RPJMN tahun 2015 – 2019, yang secara substantif berupa komitmen menyelesaikan secara berkeadilan atas pelanggaran HAM masa lalu.
Konsensus bersama dalam upaya penyelesaian kasus pelanggaran HAM merupakan langkah penting untuk membangun kesadaran baru dalam masyarakat, bahwa pelanggaran HAM tidak dapat dibiarkan dan tak boleh terulang kembali di masa yang akan datang.
Dengan memfasilitasi proses pengungkapan pelanggaran HAM di masa lalu, maka implementasi perintah putusan Mahkamah Konstitusi, untuk segera mengeluarkan kebijakan menangani pelanggaran hak asasi di masa lampau, maupun realisasi mandat TAP MPR No V Tahun 2000 Tentang Pemantapan Persatuan dan Kesatuan Nasional, menjadi wadah yang kuat untuk menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM.
Meski demikian, tampaknya masih ada kendala-kendala yang terjadi di lapangan sehingga proses penuntasan pelanggaran HAM masih terlihat bermasalah. Indikasi tersebut tercermin dari hal sebagai berikut: