Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Agus Suntoro
Peneliti BRIN

Penulis adalah Koordinator Kelompok Riset Hukum Lingkungan, Sumber Daya Alam dan Perubahan Iklim, pada Pusat Riset Hukum Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN).

"Outlook" Penuntasan Pelanggaran HAM yang Berat di Tahun 2017

Kompas.com - 27/12/2016, 17:55 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
EditorAmir Sodikin

Pertama, secara hukum mandatori penyelesaian pelanggaran HAM yang berat adalah rangkaian kewenangan secara berjenjang yang dimiliki Komnas HAM RI, Kejaksaan Agung RI dan badan peradilan (HAM).

Dengan demikian, seharusnya seluruh pihak, terutama Komnas HAM RI selaku penyelidik dan Kejaksaan Agung RI selaku penyidik dan penuntut untuk bersama-sama mencari solusi penyelesaian permasalahan yang ada dalam pemberkasan atas peristiwa-peristiwa tersebut, apakah menyangkut aspek formil maupun materiil.

Jika masih ada kelemahan-kelemahan dalam kedua aspek tersebut, maka diperlukan pembahasan melalui gelar perkara atau expose sesuai dengan mekanisme hukum dan HAM.

Dengan demikian, maka tidak ada lagi cerita-cerita berkas pemeriksaan yang bolak-balik antara Komnas HAM RI dan Kejaksaan RI dan menjadi bola panas pada penuntasan pelanggaran HAM yang berat.

Tidak saja menambah luka bagi korban pencari keadilan, akan tetapi menunjukan belum seriusnya upaya penyelesaian atas permasalahan ini.

Kedua, soal dukungan politik. Terdapat situasi khusus terhadap penuntasan pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang terjadi sebelum diundangkannya UU Nomor 26 Tahun 2000, maka berdasarkan Pasal 43 ayat (1) harus diperiksa dan diputus oleh Pengadilan HAM ad hoc.

Meski demikian, terdapat tantangan dalam pembentukan Pengadilan HAM ad hoc sebagaimana dimaksud karena harus dibentuk atas usul Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia berdasarkan peristiwa tertentu dengan Keputusan Presiden.

Dengan demikian, selain keruwetan dalam berkas perkara antara Kejaksaan RI dan Komnas HAM RI, maka terhadap peristiwa-peristiwa pelanggaran HAM yang berat sebelum 2000 memerlukan sikap politik, baik dari DPR RI maupun dari Presiden RI.

Padahal secara umum peristiwa pelanggaran HAM yang berat dan menggantung terjadi sebelum 2000. Akankah situasi politik saat ini mendukung pada proses tersebut?

Penanganan korban pelanggaran HAM yang berat

Setiap korban pelanggaran HAM yang berat pada dasarnya berhak atas perlindungan fisik dan mental dari ancaman, gangguan, teror, dan kekerasan dari pihak manapun.

Perlindungan tersebut wajib dilaksanakan oleh aparat penegak hukum dan aparat keamanan secara cuma-cuma. Lebih mendalam lagi korban pelanggaran hak asasi manusia pada dasarnya berhak atas empat pilar penghapusan impunitas di atas yaitu: hak atas keadilan, hak atas kebenaran, hak atas pemulihan (reparation), dan hak atas jamina ketidakberulangan.

Bukan berarti setelah adanya upaya pemulihan hak-hak korban, pengungkapan peristiwa pelanggaran HAM yang terjadi diabaikan. Meskipun sebetulnya dalam Pasal 47 UU Nomor 26 Tahun 2000 memberikan peluang agar penuntasan peristiwa pelanggaran HAM yang berat sebelum lahir undang-undang ini dapat diselesaikan melalui mekanisme yang dibuat oleh Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR).

Apa lacur, KKR ini telah dibubarkan oleh Mahkamah Konstitusi Nomor 006/PUU-IV/2006 karena dianggap bertentangan dengan UUD 1945.

Secara teknis, mekanisme pemberian kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi kepada korban atau keluarga korban atau ahli waris korban pelanggaran HAM yang berat, diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) No 3 Tahun 2002 Tentang Kompensasi, Restitusi, dan Rehabilitasi Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Yang Berat.

Salah satu dasar pemikiran terbitnya PP Nomor 3 Tahun 2002 adalah dalam hal terjadi pengabaian, pengurangan, dan perampasan hak asasi manusia (terutama terjadi pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang dilakukan oleh perseorangan, kelompok orang baik sipil, militer, maupun polisi), maka pihak korban atau keluarga korban yang merupakan ahli warisnya berhak memperoleh kompensasi, restitusi, dan atau rehabilitasi secara tepat, cepat, dan layak.

Dalam arti bahwa pihak korban atau ahli warisnya berhak memperoleh ganti kerugian atau pengembalian hak-hak dasarnya yang dilakukan sesuai dengan sasaran, yakni korban dan penggantian kerugiannya, pelaksanaannya segera diwujudkan, dan pengembalian haknya harus patut sesuai dengan rasa keadilan.

Meskipun demikian, terdapat tantangan dalam implementasi atas hak-hak korban atau keluarga atau ahli warisnya, karena berdasarkan aturan itu disyaratkan bahwa pemberian kompensasi, rehabilitasi, dan restitusi dilaksanakan setelah ada putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.

Dalam hal pelaksanaan kompensasi dan atau rehabilitasi yang berkaitan dengan pembiayaan dengan keuangan negara, maka penghitungan dilakukan oleh Departemen Keuangan. Lantas bagaimana jika penuntasan pelanggaran HAM yang berat ini masih berlarut-larut di Indonesia? 

 

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Tinggalkan KPK, Dirut Nonaktif PT Taspen Irit Bicara Sembari Bawa Sate

Tinggalkan KPK, Dirut Nonaktif PT Taspen Irit Bicara Sembari Bawa Sate

Nasional
Tanggal 10 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Tanggal 10 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Nasional
Usul Prabowo Tambah Kementerian Diharap Bukan Politik Akomodatif

Usul Prabowo Tambah Kementerian Diharap Bukan Politik Akomodatif

Nasional
Pakar Ungkap 'Gerilya' Wacana Tambah Kementerian Cukup Gencar

Pakar Ungkap "Gerilya" Wacana Tambah Kementerian Cukup Gencar

Nasional
Daftar Kepala BIN dari Masa ke Masa, Zulkifli Lubis hingga Budi Gunawan

Daftar Kepala BIN dari Masa ke Masa, Zulkifli Lubis hingga Budi Gunawan

Nasional
Gelar Halalbihalal, MUI Gaungkan Pesan Kemanusiaan untuk Korban Genosida di Gaza

Gelar Halalbihalal, MUI Gaungkan Pesan Kemanusiaan untuk Korban Genosida di Gaza

Nasional
Perjalanan BIN 6 Kali Berganti Nama, dari Brani hingga Bakin

Perjalanan BIN 6 Kali Berganti Nama, dari Brani hingga Bakin

Nasional
'Prabowo Banyak Dikritik jika Tambah Kementerian, Baiknya Jaga Kebatinan Rakyat yang Sedang Sulit'

"Prabowo Banyak Dikritik jika Tambah Kementerian, Baiknya Jaga Kebatinan Rakyat yang Sedang Sulit"

Nasional
Pengamat Nilai Putusan MK Terkait Sengketa Pilpres Jadi Motivasi Kandidat Pilkada Berbuat Curang

Pengamat Nilai Putusan MK Terkait Sengketa Pilpres Jadi Motivasi Kandidat Pilkada Berbuat Curang

Nasional
PPP Papua Tengah Klaim Pegang Bukti Kehilangan 190.000 Suara pada Pileg 2024

PPP Papua Tengah Klaim Pegang Bukti Kehilangan 190.000 Suara pada Pileg 2024

Nasional
Koarmada II Kerahkan 9 Kapal Perang untuk Latihan Operasi Laut Gabungan 2024, Termasuk KRI Alugoro

Koarmada II Kerahkan 9 Kapal Perang untuk Latihan Operasi Laut Gabungan 2024, Termasuk KRI Alugoro

Nasional
Kandidat Versus Kotak Kosong pada Pilkada 2024 Diperkirakan Bertambah

Kandidat Versus Kotak Kosong pada Pilkada 2024 Diperkirakan Bertambah

Nasional
Rencana Prabowo Bentuk 41 Kementerian Dinilai Pemborosan Uang Negara

Rencana Prabowo Bentuk 41 Kementerian Dinilai Pemborosan Uang Negara

Nasional
Di MIKTA Speakers’ Consultation Ke-10, Puan Suarakan Urgensi Gencatan Senjata di Gaza

Di MIKTA Speakers’ Consultation Ke-10, Puan Suarakan Urgensi Gencatan Senjata di Gaza

Nasional
KPK Sebut Kasus Gus Muhdlor Lambat Karena OTT Tidak Sempurna

KPK Sebut Kasus Gus Muhdlor Lambat Karena OTT Tidak Sempurna

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com