Herodes, pemimpin kala itu, berkata kepada orang-orang majus, ”Pergi dan selidikilah Anak itu. Segera sesudah kamu menemukan Dia, kabarkanlah kepadaku supaya aku pun datang menyembah-Nya.”
Jujurkah Herodes? Tidak! Ketika orang-orang majus itu tidak kembali kepadanya, Herodes menjadi emosi.
Pikirannya panas, menghasilkan perilaku membahayakan bahkan mematikan orang lain: Herodes menyuruh membunuh semua anak yang berumur di bawah dua tahun, di Bethlehem dan sekitarnya, sesuai waktu yang diketahui dari orang-orang majus itu.
Kisah ini masih berlaku hingga kini. Apa yang dibuat Herodes masih dibuat oleh kita. Sifat Herodes bisa muncul pada kepala daerah, kepala dinas, kepala keluarga, dan diri kita.
Kita tidak bisa memisahkan dan memilah persoalan. Kita enggan mencari keheningan agar hati jernih dan budi menjadi bening.
Peringatan Natal semestinya mengajak kita semua bersukacita mensyukuri pembangunan yang diupayakan pemerintah dengan memperbaiki pelayanan publik, dari penegakan hukum, pembangunan infrastruktur, hingga peningkatan kualitas pendidikan.
Walaupun belum sesuai harapan, kita merasakan ada kemajuan. Pengalaman keberhasilan ini seiring warta malaikat kepada para gembala, ”Aku memberitakan kepadamu kesukaan besar untuk seluruh bangsa” (PGI dan KWI 2016).
Namun, niat baik pemerintah memang tidak akan berjalan baik dan lancar jika manusianya lebih reaktif daripada reflektif. Keheningan hati dituntut dari kita semua. Bukan emosi, bukan pula teriakan keras yang dikedepankan.
Kebeningan budi turut mengawal hati. Budi yang bening akan mengakui keberhasilan orang lain dan dengan rendah hati mau bekerja sama demi kemakmuran, kemajuan, dan keadilan banyak orang.
Namun, di tengah ribuan orang pintar yang setiap tahun diwisuda, di manakah pemikiran kritis dan suara mereka? Kiranya Indonesia butuh serius menangani pendidikan suara hati!
Keprihatinan
Selain catatan keberhasilan, kita mengakui ada berbagai hal yang masih perlu kita tingkatkan penanganannya.
Masalah suku, agama, ras, dan antargolongan yang semakin mencuat, juga korupsi dan pungli yang masih merajalela, kemiskinan, bahkan juga peredaran dan pemakaian narkoba, sungguh merusak masa depan bangsa.
Dalam hal demokrasi, kita pun punya pekerjaan rumah yang tidak mudah. Pada 15 Februari 2017, kualitas dan praksis demokrasi kita diuji kembali.
Pemilihan umum kepala daerah serentak sebagai sarana mematangkan demokrasi kita menjadi ujian bagi partisipasi sekaligus praktik berpolitik masyarakat dan peningkatan kualitas pelaksanaan pesta demokrasi.