JAKARTA, KOMPAS.com - Direktur Litbang Center for Strategic Studies University of Indonesia (CSS UI) Dian Puji N Simatupang memberikan penjelasan mengenai permohonan uji materi terkait perpanjangan masa jabatan hakim Mahkamah Konstitusi (MK) yang diajukan lembaganya.
Ia mengatakan, pokok permohonan kepada MK adalah meminta agar masa jabatan hakim MK disamakan dengan hakim Mahkamah Agung (MA).
Adapun pasal yang diuji adalah Pasal 4 dan Pasal 22 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Mahkamah Konstitusi (UU 24/2003).
"Kami hanya minta tidak mengikat masa jabatan lima tahun dan dipilih kembali, tetapi dipilih sampai usia pensiun, 70 tahun, sebagaimana hakim Agung MA, itu saja," kata Dian, saat dihubungi Rabu (30/11/2016).
Ia mengatakan, CSS UI menilai, ketentuan Pasal 4 UU 24/2003 diskriminatif karena membatasi masa jabatan Ketua dan Wakil Ketua MK hanya boleh diemban selama dua tahun enam bulan.
(Baca: Mahfud Ingatkan Hakim MK Dilarang Beri Putusan Terkait Lembaganya)
Sedangkan Pasal 22 UU 24/2003 dinilainya diskriminatif karena masa jabatan hakim MK dibatasi hanya selama lima tahun dan dapat dipilih kembali hanya untuk satu kali masa jabatan berikutnya.
Aturan ini dianggap diskrimintatif karena kedudukan hakim dalam peradilan mana pun tidak pernah mengenal masa jabatan dan periodesasi jabatan.
CSS UI berpandangan bahwa aturan mengenai jabatan hakim MK yang seperti itu berpotensi membatasi MK untuk dapat menyelenggarakan peradilan yang taat pada hukum dan berkeadilan bagi masyarakat.
Melalui uji materi diharapkan ada perubahan yang lebih baik.
"Yang dimohonkan adalah masa jabatan sampai usia pensiun dengan proses sistem prosedur yang terbuka akuntabel. Sehingga, dapat menghasilkan hakim MK yang negarawan." kata dia.
Ia menyayangkan adanya penafsiran bahwa pihaknya mengajukan uji materi dengan pokok permohonan masa jabatan hakim MK adalah seumur hidup.
"Kami mengklarifikasi semua yang pernah diberitakan tidak ada niat, pemikiran, dan keinginan dari kami sebagai sekumpulan intelektual memohon masa jabatan hakim MK seumur hidup, tidak sama sekali," ujar Dosen Fakultas Hukum UI tersebut.
Adapun uji materi yang diajukan CSSUI ini teregsitrasi di MK dengan nomor perkara 73/PUU-XIV/2016.
Jabatan hakim MK seumur hidup
Dalam sidang lanjutan yang digelar pada Selasa (1/11/2016), mantan Ketua MA, Bagir Manan selaku Ahli pemohon menyampaikan kepada majelis persidangan bahwa pembatasan masa jabatan hakim akan memunculkan berbagai kekhawatiran yang dapat mempengaruhi sikap imparsialitas (pandangan) hakim dalam memutus perkara.
"Kekhawatiran diberhentikan atau tidak diangkat, atau tidak dipilih lagi," kata Bagir, dikutip dari risalah persidangan pada Selasa.
Menghindari hal itu, lanjut Bagir, maka masa jabatan hakim harus cukup panjang.
Bahkan, di beberapa negara menetapkan jabatan hakim seumur hidup (for life).
"Dalam masa jabatan yang cukup panjang, hakim tidak dapat diberhentikan karena alasan-alasan yang bertalian dengan pelaksanaan tugasnya. Kalaupun akan diberhentikan karena alasan pelaksanaan pekerjaannya harus dengan prosedur khusus seperti impeachment," ujar Bagir.
Melanggar asas umum hukum, dan politis
Sementara itu, Peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Fadli Ramadhanil menilai, permohonan pemohon menimbulkan keresahan di internal hakim MK.
Alasannya, ada asas umum dalam dunia hukum yang menyebutkan bahwa seorang hakim tidak boleh mengadili persoalan atas dirinya sendiri. Dalam bahasa latin disebut "nemo judex in causa sua".
“Ada adagium umum yang berlaku umum itu mengatakan, tidak seorang pun yang menjadi hakim mengadili dirinya sendiri. Dan kemudian juga kondisi sekrang itu kan terjadi dimana MK memutus perkara dengan kepentingan, bahkan bukan kepentingan institusi, tapi kepentingan personal hakim yang sedang menjabat,” kata Fadli, di MK, Jakarta, Senin (28/11/2016).
Selain itu, permohonan pemohon juga dinilainya memunculkan kesan politis.
Hal itu terlihat dari cepatnya MK memproses permohonan uji materi tersebut.
Saat ini uji materi sudah pada tahap akhir, yakni Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH).
"Ini cepat. Nah itu menimbulkan kecurigaan juga. Permohonannya CSS UI itu baru diregistrasi 1 September 2016. Kemudian di awal Oktober itu sudah persidangan ketiga. Nah di pertengahan November itu sudah selesai, enggak sampai tiga bulan sidangnya," papar dia.
Meski tidak ada aturan yang mengharuskan MK menyelesaikan sidang sesuai urutan masuknya pengajuan uji materi, namun sedianya MK bisa memilih gugatan-gugatan yang sifatnya lebih substansial.
Fadli membadingkan, cepatnya proses uji materi ini dengan gugatan uji materi mengenai keterbukaan informasi terkait mekanisme pemilihan komisioner Informasi (KI) di daerah dan pusat yang diajukan oleh tiga lembaga sosial masyarakat (LSM) sekitar awal Oktober 2016.
Tiga LSM tersebut, yakni Yayasan penguatan Partisipasi Inisiatif dan Kemitraan Masyarakat Indonesia (Yappika), Pusat Telaah dan Informasi Regional (Pattiro), dan Perludem.
"Sudah dua bulan lebih, enggak ada lagi kabar persidangannya setelah sidang kedua. Padahal itu penting, 33 provinsi akan melalukan rekrutmen pada komisioner KI. Nah ini (uji materi masa jabatan hakim MK) apa kepentingan cepatnya, kenapa diputus cepat?" kata Fadli.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.