JAKARTA, KOMPAS.com - Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah menyatakan saat ini surat permohonan pergantian Ketua DPR dari Ade Komarudin ke Setya Novanto masih dikaji di badan pengkajian.
"Itu sudah sesuai dengan prosedur tetap di DPR. Surat yang masuk ke pimpinan pasti dikaji dulu dari aspek hukumnya sebelum dirapatkan. Dikaji apakah surat tersebut layak ditindaklanjuti oleh Pimpinan dan Badan Musyawarah (Bamus)," kata Fahri di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (28/11/2016).
Sebab, kata Fahri, ada surat permohonan yang tidak bisa diproses di Pimpinan DPR, yakni surat permohonan yang tengah diperkarakan di pengadilan.
"Semisal seperti kasus saya dulu, karena dari partai saya ada permohonan untuk mengganti saya dari posisi pimpinan dan permohonan tsrsebut diperkarakan, maka tidak bisa diproses di Pimpinan," ujar Fahri.
(Baca: Alasan Pergantian Ketua DPR untuk Perbaiki Citra Novanto Dinilai Lemah)
Fahri menambahkan, bila nantinya permohonan itu sah secara hukum, segera dibahas di Rapat Pimpinan DPR.
Apalagi saat ini, kata Fahri, ada permintaan dari Presiden Joko Widodo untuk membahas calon duta besar yang sudah diajukan ke DPR.
"Jadi sebelum kita berpolitik di DPR, kita harus taat hukum dulu, prosedur hukumnya dijalankan dulu," lanjut Fahri.
Rapat pleno DPP Partai Golkar yang memutuskan Novanto kembali menjadi Ketua DPR dilakukan pada Senin (21/11/2016).
Ketua Harian DPP Partai Golkar Nurdin Halid mengatakan, keputusan ini diambil dengan mengacu pada putusan Mahkamah Konstitusi terkait kasus "Papa Minta Saham" yang menyeret nama Novanto.
(Baca: Terancam Digantikan Setya Novanto, Ade Komarudin "Curhat" ke Megawati)
Keputusan MK tersebut dikuatkan dengan keputusan Mahkamah Kehormatan Dewan DPR RI yang tidak pernah menjatuhi hukuman untuk Novanto.
Adapun Novanto mundur dari kursi ketua DPR pada Desember 2015 lalu karena tersangkut kasus "Papa Minta Saham".
Novanto dituding mencatut nama Jokowi untuk meminta saham kepada PT Freeport Indonesia.