Baru sepekan dijalankan Balai Rakyat Rumah Lembang yang intim memiliki potensi menjadi alternatif model kampanye blusukan yang terbuka.
Dalam catatan saya, model kampanye town hall meeting rupanya sudah menjadi aspirasi Komisi Pemilihan Umum (KPU), khususnya untuk daerah yang selama ini rawan konflik ketika dilakukan kampanye terbuka.
Hal ini tidak lepas dari warisan modal berpolitik masyarakat Indonesia yang tereduksi selama 32 tahun pemerintahan Orde Baru dengan konsep massa mengambang, di mana partai politik diasingkan dari masyarakat akar rumput yang perlahan-lahan tergerus kadar ideologinya.
Tipisnya ideologi kepartaian ini dapat dilihat dari kerapnya baku hantam antar simpatisan partai, samarnya ideologi partai-partai yang ada, kecuali PKS, bahkan fakta yang lebih aktual adalah dari tiga calon Gubernur DKI, tidak satupun lahir dari rahim partai.
Alhasil dalam pertarungan Pilkada DKI, kecenderungan yang terjadi bukan debat ideologi namun tak lebih pada demokrasi semu yang terjadi sejak Pemilu 2004, masyarakat secara sadar tidak memilih ideologi maupun program yang ditawarkan namun menentukan pilihan semata-mata terhadap calon pemimpin yang cenderung lebih populer. Berkat banjir iklan dan pemberitaan? Bisa jadi benar!
Namun dalam kondisi saat ini, ketika media sosial sedemikian dominan dan memungkinkan pesan-pesan teramplifikasi secara masif rupanya terdapat kecenderungan timbulnya kejemuan (boredom) terhadap politik yang tidak boleh diabaikan semua pihak.
Belum lagi fakta persaingan media massa telah berdampak pada kesinambungan konflik dan karena tuntutan untuk selalu menjual (marketable), metode persaingan itu secara sadar menyuburkan iklim provokasi yang membaurkan realitas simbolik.
Media yang harusnya mengabarkan fakta secara obyektif, justru melihat fakta-fakta secara subyektif dan terjebak pada simbol, dan bisa jadi belum tentu benar.
Repotnya, derasnya informasi media mainstream tersebut turut diamplifikasi secara cepat dan masif oleh media sosial yang rupanya menurut duet peneliti Van Tilburg dan Eric Igou dalam Jurnal Psikologi Sosial Eropa pada Juni lalu menjadi pemicu kejemuan masyarakat terhadap politik.
Kejemuan ini yang menyebabkan putusan masyarakat Inggris memilih keluar dari Uni Eropa, sementara fenomena yang sama diduga yang menjadi penyebab kemenangan Donald Trump dalam Pemilu di Amerika.
Masyarakat Amerika yang jenuh politik memilih tak menyuarakan suaranya, sementara yang tak kuat diterpa badai informasi secara sadar mengikuti narasi besar yang ditiupkan Trump yang paham luar dalam media.
Pilkada DKI masih menyisakan kurang dari tiga bulan sebelum waktu pemilihan, melihat kecenderungan badai informasi tersebut, pantas dikhawatirkan stamina psikis masyarakat akibat masifnya pertukaran pesan dari gelanggang politik yang masing-masing memiliki kebenarannya.
Jika psikis masyarakat tak kuat, bisa jadi hasil akhir Pilkada DKI bakal sama mengejutkannya dengan Pemilu Amerika, namun bisa jadi tensi tersebut diturunkan lewat kampanye calon Gubernur yang memilih berdialog dengan masyarakat dalam ruang yang lebih intim.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.