Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Amir Sodikin
Managing Editor Kompas.com

Wartawan, menyukai isu-isu tradisionalisme sekaligus perkembangan teknologi informasi dan komunikasi. Bergabung dengan harian Kompas sejak 2002, kemudian ditugaskan di Kompas.com sejak 2016. Menyelesaikan S1 sebagai sarjana sains dari Fakultas Biologi Universitas Gadjah Mada (UGM), dan S2 master ilmu komunikasi dari Magister Ilmu Komunikasi Universitas Paramadina. 

#RIPIntan, Maafkan Kami Nak... Maafkan...

Kompas.com - 14/11/2016, 15:54 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
EditorWisnubrata

KOMPAS.com — "Adik kami akhirnya meninggal. Pagi ini masih di ruang jenazah RS AW Sjahranie," ujar Nopi, kerabat dari keluarga balita Intan Marbun (3).

Senin (14/11/2016), dukacita terasa di linimasa media sosial. Tagar #RIPIntan langsung menjadi topik tren di Twitter. Rasa pilu terasa begitu menyesap perih di sanubari para netizen.

Intan Marbun, balita mungil nan cantik itu mengembuskan napas terakhir pada Senin (14/11/2016) dini hari di RS AW Sjahranie. Ia tak lagi mampu menahan dampak ledakan bom molotov yang dilemparkan ke Gereja Oikumene pada Minggu (13/11/2016).

Baca: Seorang Bocah Korban Bom Molotov di Samarinda Meninggal Dunia

Kejengkelan netizen yang selama ini mengendap-endap di dalam hati, sebagian tampak ditumpahkan di media sosial. Kejengkelan itu terutama ditujukan kepada para elite politik dan figur publik yang selama ini hanya sibuk berebut kekuasaan dengan segala cara, lupa memelihara kebinekaan dan inklusivisme.

Gegap gempita perebutan kekuasaan di berbagai daerah memang sedang memanas jelang Pemilihan Kepala Daerah. Kabar pilu yang datang dari Kelurahan Sengkotek, Samarinda Seberang, Kota Samarinda, Kalimantan Timur, itu seolah menyadarkan kita bahwa betapa kita makin permisif dengan berbagai sikap dan aksi intoleransi di berbagai daerah.

Ekstremisme pada akhirnya akan tumbuh subur pada lahan masyarakat yang terus memelihara api intoleransi. Propaganda politik yang memperdagangkan "ketakutan" dan "kemarahan" marak digunakan oleh segelintir elit.

Intan merupakan satu dari empat anak yang menjadi korban teror yang dilakukan seorang pemuda bernama Juhanda alias Jo bin Muhammad Aceng. Juhanda merupakan mantan narapidana kasus bom buku dan pernah mendekam di Lapas I Tangerang, yang kemudian belajar aliran ISIS di dalam lapas.

Baca: Pelaku Bom Samarinda Pernah Akan Bunuh Istrinya demi Masuk Surga

Melihat isi media sosial di Twitter dengan tagar #RIPIntan, tampak percakapan ini berasal dari berbagai kalangan yang terpukul dengan kejadian bom Sengkotek, Samarinda. Dhika, dengan akun Twitter @kakazifana, seolah mewakili suara kita sebagai warga negara yang merasa bersedih sekaligus bersalah.

Allahumaghfirlaha. Ananda, maafkan kami yg gagal melindungimu dr kebiadaban manusia2 yg mengatasnamakan agama di atas kebencian. #RIPIntan,” tulis Dhika.

Suara yang senada dengan Dhika begitu menguat di media sosial. Kritik terhadap orang-orang yang memutarbalikkan pemahaman soal Islam juga terdengar dari para Gusdurian, seperti terlihat melalui akun @pojokgusdur.

Pojok Gus Dur mengingatkan kepada kita semua, betapa kejinya perbuatan menghilangkan nyawa seorang anak. “Dalam perang, bahkan Rasul SAW melarang pasukannya melukai anak-anak, perempuan, dan orangtua renta. Jadi, siapa junjunganmu? #RIPIntan,” demikian yang tertulis via akun @pojokgusdur.

Untuk mengenangnya, seperti yang sudah tersiar di berbagai kanal media sosial, nanti malam akan diselenggarakan Malam 1000 Lilin untuk Intan. Sumardivet dengan akun @sumardisaja membagikan informasi itu.

Malam ini 1000 lilin bunga doa n cinta untuk Intan di Bundaran HI, Mari dukung #RIPIntan,” tulisnya.

Hal yang melegakan, perbuatan teror seperti ini juga santer ditentang oleh generasi muda. Mereka rata-rata tak mengerti dengan apa yang diperjuangkan teroris.

 

 

 

Tradisi toleransi

Ansor Cyber Media dengan akun @ansor_jatim, mengingatkan kita bahwa sebenarnya kita memiliki akar kebinekaan yang begitu dalam, dibanding kebencian. Ansor merujuk pada peristiwa ikonik terkait pengorbanan seorang pemuda Islam bernama  Riyanto.

"Sahabatku, Riyanto. Adik kita Intan Olivia Marbun menyusulmu...
menjadi MARTIR bagi Kebangsaan & Kebhinekaan Republik Indonesia. #RIPIntan," begitu kata akun @ansor_jatim.

Riyanto adalah simbol kiprah generasi muda Islam dalam penegakan toleransi. Ia anggota Barisan Ansor Serbaguna (Banser), organisasi pemuda Nahdlatul Ulama, yang ikut serta menjaga Gereja Eben Haezer, Mojokerto, Jawa Timur, pada malam Natal 24 Desember 2000.

Riyanto yang pemuda Muslim itu berusaha melindungi umat yang sedang beribadah di gereja dengan mengamankan bungkusan yang ternyata berisi bom. Namun naas, bom itu meledak dalam dekapannya sebelum berhasil ia lempar.

Kini, 16 tahun sudah lewat, ajakan untuk mengenang Riyanto yang berjuang dengan cara menyelamatkan nyawa manusia, relevan untuk kembali kita bandingkan dengan ulah teroris yang mengklaim berjuang dengan menghilangkan nyawa orang.

Perjuangan Riyanto menjadi pengingat bagi kita semua, bahwa kita memiliki tradisi saling asih dan saling menjaga, tradisi toleransi lama yang kita warisi dari para kiai dan ulama. Inilah modal perekat yang perlu kita ingat di tengah geliat gerakan Islam garis keras.

 

 

Intan dan anak-anak kita

Bagi yang sudah berkeluarga dan memiliki anak, balita adalah “intan” keluarga yang tak ternilai harganya. Ia adalah titipan Allah SWT yang harus kita jaga. Tak ada hak bagi siapa pun, atas nama apa pun, untuk mengganggu anak-anak kita.

Jangankan membunuh, membakar, hingga mengebom. Mengganggu pun itu sudah merupakan perbuatan keji. Siapa pun orangtuanya akan berada di depan untuk berusaha melindungi anak-anak. Bahkan, negara pun wajib melindungi hak-hak anak untuk tumbuh berkembang dengan aman.

Kini, foto Intan dengan baju kuning dan tas sekolah di punggung yang tersebar di berbagai kanal media sosial sungguh mengguncang hati kita semua. Sampai kapan pun kita tak akan rela, sosok tak berdosa yang tak tahu apa-apa itu harus menjadi korban.

Semangat untuk tetap menjaga kebinekaan di media sosial melalui tagar #RIPIntan ini pantas kita simak.

Beberapa pekan ini linimasa media sosial maupun kanal aplikasi obrolan dipenuhi berbagai broadcast yang mengarah pada nuansa kebencian dan menyulut emosi. Kini, saatnya kita kembalikan fungsi media sosial dan kanal obrolan untuk berbagi hal-hal baik yang menggugah hati.

Sudahi perang broadcast untuk kepentingan 5 tahun. Akhiri perlombaan memasang tagar di media sosial hanya untuk mengobarkan sikap marah dan kebencian terhadap sesama.

Sepakat dengan anjuran dari berbagai pihak, jarimu adalah harimaumu. Tetap berhati-hatilah saat berbagi di media sosial, teliti kontennya jangan sampai menyebar kebencian sesama.

Jangan sampai satu klik jari kita bisa berkontribusi petaka di pihak lain, entah di suatu waktu dan suatu lokasi tertentu. Kita tidak akan tahu.

Ingatlah Intan-Intan lainnya yang harus kita jaga. Dekap hangat untuk asa Intan tersayang, semoga Allah SWT memberikan surga terbaik di sisi-Nya. Maafkan kami, Nak, maafkan....

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Cek Pelabuhan Ketapang, Kabaharkam Pastikan Kesiapan Pengamanan World Water Forum 2024

Cek Pelabuhan Ketapang, Kabaharkam Pastikan Kesiapan Pengamanan World Water Forum 2024

Nasional
Prabowo Sebut Soekarno Milik Bangsa Indonesia, Ini Respons PDI-P

Prabowo Sebut Soekarno Milik Bangsa Indonesia, Ini Respons PDI-P

Nasional
Ganjar Serahkan ke PDI-P soal Nama yang Bakal Maju Pilkada Jateng

Ganjar Serahkan ke PDI-P soal Nama yang Bakal Maju Pilkada Jateng

Nasional
Prabowo Minta Pemerintahannya Tak Diganggu, Ini Kata Ganjar

Prabowo Minta Pemerintahannya Tak Diganggu, Ini Kata Ganjar

Nasional
Bertemu Calon-calon Kepala Daerah, Zulhas Minta Mereka Tiru Semangat Jokowi dan Prabowo

Bertemu Calon-calon Kepala Daerah, Zulhas Minta Mereka Tiru Semangat Jokowi dan Prabowo

Nasional
7 Jenis Obat-obatan yang Disarankan Dibawa Jamaah Haji Asal Indonesia

7 Jenis Obat-obatan yang Disarankan Dibawa Jamaah Haji Asal Indonesia

Nasional
Visa Terbit, 213.079 Jemaah Haji Indonesia Siap Berangkat 12 Mei

Visa Terbit, 213.079 Jemaah Haji Indonesia Siap Berangkat 12 Mei

Nasional
Soal Usulan Yandri Susanto Jadi Menteri, Ketum PAN: Itu Hak Prerogatif Presiden

Soal Usulan Yandri Susanto Jadi Menteri, Ketum PAN: Itu Hak Prerogatif Presiden

Nasional
Di Australia, TNI AU Bahas Latihan Bersama Angkatan Udara Jepang

Di Australia, TNI AU Bahas Latihan Bersama Angkatan Udara Jepang

Nasional
BPK Buka Suara usai Auditornya Disebut Peras Kementan Rp 12 Miliar

BPK Buka Suara usai Auditornya Disebut Peras Kementan Rp 12 Miliar

Nasional
Chappy Hakim: Semua Garis Batas NKRI Punya Potensi Ancaman, Paling Kritis di Selat Malaka

Chappy Hakim: Semua Garis Batas NKRI Punya Potensi Ancaman, Paling Kritis di Selat Malaka

Nasional
Prabowo Diminta Cari Solusi Problem Rakyat, Bukan Tambah Kementerian

Prabowo Diminta Cari Solusi Problem Rakyat, Bukan Tambah Kementerian

Nasional
Zulhas: Anggota DPR dan Gubernur Mana yang PAN Mintai Proyek? Enggak Ada!

Zulhas: Anggota DPR dan Gubernur Mana yang PAN Mintai Proyek? Enggak Ada!

Nasional
Usul Prabowo Tambah Kementerian Dianggap Sinyal Kepemimpinan Lemah

Usul Prabowo Tambah Kementerian Dianggap Sinyal Kepemimpinan Lemah

Nasional
Dubes Palestina Sindir Joe Biden yang Bersimpati Dekat Pemilu

Dubes Palestina Sindir Joe Biden yang Bersimpati Dekat Pemilu

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com