Hanya dalam waktu sedemikian singkat, Muhammad mampu merangkul keseragaman bangsa Arab dan membawa mereka keluar dari kejumudan demi menatap wajah dunia baru. Melintasi batas terjauh cakrawala bangsa Arab yang sebelumnya tak pernah terpikirkan mereka.
Muhammad mengalami penolakan yang lebih menggentarkan dibanding Ibrahim, Musa, dan Isa, sebab ia ditepis dan diusir dari lingkaran terdalam puaknya sendiri.
Ia ditolak sebagai pembaharu zaman. Tapi kehalusan perangainya diterima sepenuh hati oleh masyarakat Makkah dan Madinah kala itu.
Tak satu pun penduduk Makkah yang bisa menolak fakta bahwa Muhammad adalah sosok al-amin (jujur), yang masih dilengkapi dengan kelebihannya sebagai siddiq (benar), tabligh (mahir berbicara), amanah (bisa dipercaya); fathanah (cerdas).
Dilema budaya dan sosiologis yang dialami bangsa Arab ketika berhadapan dengan Muhammad itulah yang menjadi kekuatan terbesarnya memimpin dan membina umat akhir zaman. Umat terakhir manusia yang dialamatkan Allah sebagai rahmatan li al-‘Alamin (menjadi Rahmat bagi semesta alam).
Pembabakan sejarah di atas saya dengar langsung dari penuturan Kiyai Muchtar Mu'thi, pengasuh Pesantren Siddiqiyah dan Mursyid Thariqat Shiddiqiyah, Ploso Jombang, Jawa Timur, pada akhir 2015 silam.
Saya menambahi penjelasan umum Kiyai Muchtar itu menjadi lebih rinci, dengan riset lanjutan dalam literatur sejarah yang tersedia. Terutama, terkait sumpah para pemuda pada era berikutnya.
(Bukan) Sumpah Pemuda
Benang merah di atas masih bisa kita telusuri jejaknya pada perikehidupan bangsa Indonesia, terutama sejak kedatangan rombongan manusia rambut jagung dari daratan Eropa.
Portugis, Spanyol, Prancis, Inggris, dan Belanda, adalah musuh bebuyutan para pemuda Nusantara yang tak sudi negeri dan bangsanya direbut dan diinjak oleh orang-orang berkulit pucat itu.
Para pemuda Nusantara terus bersalin rupa selama rentang lima abad itu. Sedari Mahapatih Gajah Mada, Pangeran Diponegoro, Umar Said Cokroaminoto, RMP Sosrokartono, Tirto Adhi Suryo, Dewi Sartika, Kartini, hingga mereka yang turut hadir di Jalan Kramat 106 pada 28 Oktober 1928 dan mengikrarkan:
Kami putra dan putri Indonesia, mengaku bertumpah darah yang satu, tanah air Indonesia. Kami putra dan putri Indonesia, mengaku berbangsa yang satu, bangsa Indonesia. Kami putra dan putri Indonesia, menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia.
Tiga pasasi itu kini kita kenal sebagai Sumpah Pemuda. Saat sumpah ini diikrarkan di Batavia, Sukarno yang masih berumur 27 tahun, sedang terlibat sengit membela diri dan bangsanya di hadapan pemerintah kolonial Belanda, di Bandung.
Kelak, dari kengototannya itu lahirlah karya monumental, Indonesia Menggugat, dan Sukarno pun dibuang empat tahun ke Ende.
Ada yang menarik ikhwal sumpah ini terkait Nabi Muhammad Saw dengan Sukarno. Jika Nabi Muhammad berupaya keras membongkar keseragaman bangsa Arab dan mengembalikannya pada kealamiahan manusia, Sukarno merangkum keberagaman kita dalam Pancasila.