Salah satu alasan yang sering digunakan adalah jurnalisme advokasi cenderung subyektif, sehingga dengan sendirinya tidak akan pernah obyektif. Begitu kira-kira tudingan kepada jurnalisme advokasi.
Di sini, saya akan mencoba menggugat kedua alasan tersebut.
Pertama, subyektivitas jurnalisme. Apakah jurnalisme menjadi ternoda karena dia subyektif? Menurut saya tidak.
Begini argumentasinya. Jurnalisme mendalam (indepth atau longform) pasti (dan seharusnya) dilakukan setelah wartawan melakukan penelitian awal yang juga mendalam.
Setelah meneliti berbagai fakta dan data, sangat mungkin sebuah pers (advokasi) menemukan fakta ketidakadilan yang dialami seseorang atau sekelompok orang.
Pada titik inilah, wartawan yang dibekali dengan hati nurani oleh Tuhan memutuskan untuk membela. Keputusan ini dibuat secara sadar dan subyektif. Sekali lagi, subyektif.
Kedua, obyektivitas jurnalisme. Beberapa orang sering terjebak ketika mencoba menerjemahkan obyektivitas di dalam jurnalisme.
Menurut saya, hal ini terjadi karena beberapa orang itu hanya menganggap obyektivitas sebagai lawan kata dari subyektivitas. Sehingga, ketika sesuatu dianggap subyektif, maka ia akan sekaligus dituduh tidak obyektif.
Padahal, di dalam jurnalistik, obyektivitas memiliki indikator yang sangat banyak.
Seorang ahli sejarah bernama Westerstahl adalah yang pertama kali mencoba mengurai definisi obyektivitas. Konsep yang dia kembangkan masih digunakan sampai sekarang, termasuk di ranah media dan jurnalisme.
Ahli kajian media, Denis Mcquail mengembangkan definisi obyektivitas itu dalam beberapa buku, antara lain Media Performance (2002) dan Mass Communication Theory – 6th edition (2010).
Selain imparsialitas, menurut McQuail, ciri lain obyektivitas adalah faktualitas. Sebuah karya jurnalistik harus faktual. Selanjutnya, faktualitas memiliki tiga ciri, yaitu kebenaran, relevan, dan informatif.
McQuail kemudian memecah konsep yang dikembangkan oleh Westerstahl itu menjadi sejumlah indokator yang lebih sempit.
Berdasarkan uraian tersebut, sebuah karya jurnalistik advokasi sangat mungkin didasari oleh nurani yang menuntun wartawan untuk membela sesuatu secara subyektif. Namun, karya jurnalistik (yang subyektif) itu akan diproduksi berdasarkan faktualitas, berlandaskan fakta, mengedepankan kebenaran, relevansi, dan unsur informasi.
Dengan kata lain, jurnalisme advokasi bukanlah propaganda. Dia adalah karya jurnalistik yang faktual.
Dengan demikian, masih layakkah mengusir, atau bahkan mengubur hidup-hidup, jurnalisme advokasi ketika ia masih memegang teguh prinsip-prinsip faktualitas dan obyektivitas? Saya rasa tidak. Sebaliknya, kubur jurnalisme advokasi itu perlu dibongkar sehingga ia bisa bernapas lebih lega.
Kejujuran jurnalisme advokasi akan menjadi penyeimbang. Ia akan menjadi antitesis kerajaan media yang sering kali berlindung di balik ketiak obyektivitas, namun pada kenyataanya gencar menggunakan frekuensi publik atau ruang publik untuk kepentingan politik dan bisnis si pemilik atau koleganya yang sedang berkuasa.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.