WatchDoc sering terlihat melakukan praktik advokasi melalui sejumlah karya jurnalistik, terutama dokumenter. Mereka selalu blak-balakan dalam membela sesuatu, seseorang, atau sekelompok orang. Sebagian besar dokumenter karya WatchDoc selalu menunjukkan keberpihakan, terutama kepada warga.
Sebut saja “Belakang Hotel”. Film ini jelas-jelas menuding pembangunan hotel sebagai penyebab penyusutan akhir tanah di beberapa daerah di Yogyakarta. Untuk membuat dokumenter ini, WatchDoc dan sejumlah aktivis LSM masuk ke kampong-kampung untuk menyuarakan suara warga.
“Rayuan Pulau Palsu” juga digarap dengan menggunakan metode advokasi yang sama. Dokumenter tentang reklamasi di pesisir utara Jakarta itu merupakan amplifikasi suara nelayan.
Jauh sebelum dokumenter kehidupan warga di pesisir utara Jakarta dan di sepanjang aliran Sungai Ciliwung ini hadir, tradisi advokasi di bidang jurnalistik sudah mewabah di Eropa dan Amerika.
Berdasarkan catatan Karin Wahl-Jorgensen dan Thomas Hanitzsch dalam The Handbook of Journalism Studies, tradisi jurnalisme advokasi di Eropa dan Amerika berkembang pada tahun 1800-an dan 1920-an.
Eropa nampaknya menjadi benua yang lebih ramah bagi pertumbuhan jurnalisme advokasi. Di benua ini, jurnalisme bisa menunjukkan diri sebagai kekuatan yang memiliki sikap untuk membela atau menentang sesuatu.
Bukan hanya kepentingan publik, jurnalisme advokasi di Eropa juga hadir untuk membela kepentingan politik dan bisnis pihak-pihak tertentu.
Kondisi yang relatif berbeda muncul di Amerika. Di benua ini, jurnalisme muncul layaknya “priyayi”. Dia mengklaim diri obyektif, sehingga bersih dari kepentingan apapun. Tradisi normatif ini lama-lama mengikis perkembangan jurnalisme advokasi di Amerika pada masa itu.
Jurnalisme advokasi memang seperti pelangi. Ia memiliki banyak warna, tergantung dengan sesuatu yang ia bela. Ada kalanya warna jurnalisme advokasi tidak terlalu mencolok karena sedang membela rakyat jelata.
Namun, tidak jarang juga jurnalisme advokasi sangat menyilaukan karena berada di awang-awang, terutama ketika sedang membela kepentingan politik dan bisnis kaum elit.
Ketiak obyektivitas
Untuk membatasi pengertian jurnalisme advokasi, saya sengaja membatasi diri pada definisi yang diungkapkan oleh beberapa praktisi dan akademisi.
Dan Gillmor, misalnya. Wartawan sekaligus pengajar di Arizona State University itu secara gamblang menyebut jurnalisme advokasi sebagai pemikiran dan kegiatan jurnalistik yang memiliki sudut pandang (angle) pemberitaan yang jelas.
Menurut Gillmor, jurnalisme advokasi tidak akan bermain di wilayah abu-abu, dia akan selalu lugas dan tegas dalam membela atau menolak sesuatu.
Morris Janowitz, seperti dikutip di dalam The Handbook of Journalism Studies, memberikan batasan yang sangat menarik.
Menurut Janowitz, jurnalisme advokasi lebih banyak berperan dalam menyuarakan dan mewakili kelompok tertentu yang tidak tergabung di dalam lingkaran kekuasaan. Kelompok seperti ini biasanya luput dari pemberitaan, relatif tidak mendapat tempat di media, dan termasuk kelompok marjinal.
Pada tahap ini, istilah Civic Advocacy Journalism mulai muncul. Tujuannya jelas, membela kaum lemah, mengungkapkan kebenaran, dan memicu perubahan sosial.
Orang sering mencibir jurnalisme advokasi. Mereka menganggap jurnalisme advokasi bukan anggota keluarga besar jurnalisme.