Namun, jika mereka sadar sesadar-sadarnya (religiously literate), tindakan tersebut pasti cenderung dihindari karena tidak dibenarkan oleh ajaran agama apa pun di dunia ini.
Dalam keadaan perang pun, Islam tidak membenarkan penghancuran rumah-rumah ibadah umat agama lain!
Pertanyaannya, sudah sedemikian parahkah masyarakat kita? Mengapa mereka lebih memilih cara perusakan dan penghancuran ketimbang dialog?
Seberapa jauh masyarakat kita ”kenyal” secara sosiologis ketika ada ”tangan-tangan jahil” mencoba mengail di air keruh?
Jangan-jangan Tanjung Balai adalah fenomena gunung es di negeri ini: masyarakat kita secara umum belum teruji untuk menghadapi hantaman provokasi dari yang ringan hingga yang berat.
Artinya, masyarakat kita berdiri di atas fondasi toleransi yang rapuh (fragile tolerance) yang sewaktu-waktu dapat meledak jika diprovokasi.
Dalam kondisi semacam ini, ada baiknya kita membayangkan diri sebagai kelompok minoritas di wilayah lain, seperti masyarakat Muslim di daratan Eropa atau di Amerika Serikat.
Bagaimana masyarakat non- Muslim di kedua benua tersebut secara umum berusaha sekuat tenaga menjaga harmoni di tengah hantaman berbagai provokasi kekerasan melalui ulah segelintir teroris yang menewaskan banyak warga sipil?
Bagaimana pula Pemerintah Jerman masih tetap menerima gelombang pengungsi di tengah hancurnya reputasi mereka akibat ulah teroris?
Pembunuhan warga sipil di Nice, Perancis, melalui modus terorisme single wolf yang menewaskan 84 warga sipil (15/7/2016), aksi penembakan membabi buta seorang pemuda berketurunan Iran di kota Muenchen, Jerman (22/7/2016), dan penyerangan sebuah gereja di Perancis (26/7/2016) adalah sebentuk provokasi tingkat berat.
Sekalipun daratan Eropa telah berkali- kali dihantam isu terorisme, masyarakat sejauh ini tetap tenang dan tidak terprovokasi untuk melancarkan aksi balasan.
Artinya, masyarakat di kedua negara tersebut secara umum telah memiliki tingkat kekenyalan sosiologis yang tinggi dalam menghadapi berbagai tekanan dan hantaman provokasi.
Memang kasus-kasus diskriminasi dan pelecehan agama kerap terjadi di daratan Eropa, AS, dan Australia.
Namun, jatuhnya korban di kalangan warga sipil akibat aksi teroris bukanlah balasan setimpal atas aksi diskriminasi dan pelecehan tersebut.
Aksi kekerasan teroris jelas sudah melewati batas-batas kemanusiaan, sesuatu yang semestinya sangat disakralkan oleh ajaran agama apa pun, tak terkecuali Islam.
Namun, mengapa aksi-aksi kekerasan masih tetap dilakukan teroris? Jawabannya: karena rasionalitas publik mereka telah tersubordinasi dan terkooptasi oleh fanatisme buta yang justru merugikan semua.