Oleh:
Fajar Kurnianto
Peneliti Pusat Studi Islam dan Kenegaraan (PSIK) Universitas Paramadina
Transformasi sosial bisa terjadi dari ibadah haji. Berbagai ritual atau manasik haji tidak semata-mata ibadah taqarrub atau pendekatan diri kepada Allah SWT dan pemenuhan rukun Islam kelima, tetapi juga dorongan untuk memaknai nilai-nilai moral atau etis yang terkandung dalam setiap manasik.
Ia berkaitan dengan relasi sosial antarmanusia sebagai modal utama bagi terjadinya transformasi sosial setelah haji selesai dilakukan dan kembali ke tempat masing-masing.
John L Esposito dalam bukunya, Masa Depan Islam: Antara Tantangan Kemajemukan dan Benturan dengan Barat (2010), menggambarkan perihal ibadah haji: "Saat berhaji, pria dan wanita menjalankan ritual bersama. Tidak ada perbedaan jender di tempat tersuci ini.
Dengan mengenakan pakaian sederhana yang melambangkan kesucian, persatuan, dan kesetaraan, mereka menghidupkan kembali peristiwa-peristiwa besar keagamaan.
Jemaah berjalan mengelilingi Kabah, yang dikenal sebagai Baitullah (Rumah Allah) dan dipandang sebagai paling sakral di dunia. Seperti halnya shalat, perjalanan (tawaf) ini melambangkan hubungan spiritual dengan Allah SWT".
Dalam ritual lain, kata Esposito, mereka memerankan kembali Hajar yang berlari-lari mencari air untuk dirinya sendiri dan putranya, Ismail, saat mereka tersesat di padang pasir, mengingatkan perjuangan umat manusia dalam kehidupan.
Menjelang akhir, mereka berkumpul di Padang Arafah untuk memperingati perjalanan haji terakhir Nabi Muhammad SAW serta khotbah perpisahan dengan umatnya.
Pulang kepada Allah SWT
Ali Syari'ati dalam bukunya, Makna Haji (2007), mengatakan bahwa haji merupakan kepulangan manusia kepada Allah SWT yang mutlak, yang tidak memiliki keterbatasan dan yang tidak disepadankan dengan apa pun. Kepulangan kepada Allah SWT merupakan gerakan menuju kesempurnaan, kebaikan, keindahan, kekuatan, pengetahuan, nilai, dan fakta-fakta.
Dengan melakukan perjalanan menuju keabadian ini, kata Syari'ati, tujuan manusia bukanlah untuk binasa, melainkan untuk berkembang. Tujuan ini bukan untuk Allah SWT, melainkan untuk mendekatkan diri kepada-Nya.
Makna-makna itu dipraktikkan dalam pelaksanaan ibadah haji, dalam manasik, atau dalam tuntunan yang bukan manasik, dalam bentuk kewajiban atau larangan, nyata atau simbolik. Semua itu, pada akhirnya, mengantarkan seorang yang berhaji hidup dengan pengamalan dan nilai kemanusiaan.
Syari'ati, misalnya, mencontohkan makna di balik pemakaian pakaian ihram yang sama tanpa perbedaan di miqat. Menurut dia, tidak dapat disangkal bahwa pakaian pada kenyataannya dan juga menurut Al Quran berfungsi sebagai pembeda antara seseorang atau satu kelompok dan lainnya.
Pembedaan tersebut dapat mengantar pada perbedaan status sosial, ekonomi, atau profesi. Pakaian juga dapat memberi pengaruh psikologis kepada pemakainya. Di miqat, tempat ritual ibadah haji dimulai, perbedaan harus ditanggalkan.
Semua harus memakai pakaian yang sama. Pengaruh-pengaruh psikologis dari pakaian harus ditanggalkan. Semua merasa dalam satu kesatuan dan persamaan. Di miqat ini, apa pun ras dan suku harus dilepaskan.
Semua pakaian yang dikenakan sehari-hari yang membedakan sebagai serigala (yang melambangkan kekejaman dan penindasan), tikus (yang melambangkan kelicikan), anjing (yang melambangkan tipu daya), atau domba (yang melambangkan penghambaan) harus ditinggalkan.
Di miqat pula, dengan mengenakan dua helai pakaian berwarna putih, seorang yang berhaji akan merasakan jiwanya dipengaruhi oleh pakaian ini. Ia akan merasakan kelemahan dan keterbatasannya, serta pertanggungjawaban yang akan ditunaikannya kelak di hadapan Allah SWT.