Oleh:
Bambang Usadi
Karobankum Divkum Polri; Atase/SLO Polri di KBRI Manila 2004-2007
Keberadaan Abu Sayyaf kembali menyita perhatian khalayak dan media di Indonesia lantaran selalu jadi aktor penyandera awak kapal WNI setidaknya empat kali dalam waktu berdekatan.
Tak perlu heran, sebelumnya kelompok ini sebenarnya akrab dengan drama penyanderaan warga asing dengan meminta tebusan sebagai kompensasi pembebasan sandera. Padahal Konvensi PBB 1929 (Konvensi Internasional Menentang Penyanderaan) menegaskan tidak menoleransi pemberian uang tebusan kepada tindak penculikan dan penyanderaan.
Pemerintah di wilayah sekitar kejadian terkesan tidak berdaya menghadapi perilaku penyanderaan, mengingat insiden tersebut masih terus berlangsung.
Setidaknya awak kapal WNI secara kumulatif jadi korban penyanderaan sebanyak tujuh kali dalam kurun 12 tahun terakhir, yang selama ini diklaim dilakukan kelompok Abu Sayyaf.
WNI korban pertama Abu Sayyaf adalah sembilan anak buah kapal (ABK) Christian yang diculik di perairan Laut Sulu (akhir 2004), disusul penculikan tiga ABK kapal Bongaya berbendera Malaysia yang disergap di perairan antara pantai timur Sabah dan sebelah barat Tawi-Tawi di Kepulauan Sulu, 30 Maret 2005.
Selang 10 tahun kemudian terjadi drama penyanderaan 10 awak kapal tunda Brahma 12 pada 24 Maret 2015 disusul penyergapan kapal tunda Henry saat berlayar pulang dari San Fernando, Cebu, menuju Tarakan pada 14 April 2016.
Juga penyanderaan atas tujuh ABK kapal tunda Charles 001 yang melanggar larangan berlayar ke Filipina pada 21 Juni 2016, disusul penyanderaan tiga awak kapal penangkap ikan LLD113/5/F berbendera Malaysia pada 9 Juli 2016.
Terakhir, insiden penyanderaan kapten kapal nelayan penangkap udang Malaysia pada 3 Agustus 2016. Artinya, sampai saat ini awak kapal WNI yang disandera mencapai 11 orang.
Berbagai spekulasi muncul menyangkut upaya pembebasan sandera. Mulai dari pembebasan dengan menggunakan uang tebusan atau sebaliknya tanpa uang tebusan, siapa pihak yang berperan dalam pembebasan sandera, sampai dengan ada yang berspekulasi terjadinya penipuan dan penggelapan yang dilakukan ABK kapal dan berafiliasi dengan sindikat internasional menggunakan modus penculikan untuk mendapatkan uang tebusan miliaran rupiah.
Modus terakhir, seperti kasus penggelapan kapal tunda dan tongkang Martadini pada 2005. Kapal yang akan dijual ke Filipina oleh 16 ABK WNI itu melibatkan agen Singapura, Serawak, dan Filipina, dengan pembelinya-pengusaha papan atas Filipina-yang dikawal kelompok bersenjata Filipina selatan.
Upaya fungsional-teknis
Berbagai langkah yang dapat ditempuh Pemerintah Indonesia meliputi upaya fungsional dan teknis melalui beberapa pendekatan yang melibatkan kerja sama regional. Hal ini mengingat keterbatasan kewenangan yurisdiksi teritorial dan hukum dari tiap negara untuk memastikan tercapainya tujuan, manfaat, dan kepentingan bersama.
Pertama, Indonesia harus mampu mengefektifkan kerja sama trilateral yang sudah berjalan dengan Pemerintah Filipina dan Pemerintah Malaysia, baik secara diplomatik maupun pada level teknis, dengan melibatkan kekuatan negara dari unsur aparat pemerintah sipil (Departemen Luar Negeri, Imigrasi, Bea dan Cukai), militer, dan kepolisian.
Kedua, harus ada inisiasi Indonesia membuat nota kesepahaman (MOU) untuk sewaktu-waktu menggelar kerja sama operasi pembebasan sandera di wilayah Filipina yang dilakukan langsung oleh TNI dan tentara Filipina, ketika terjadi insiden penyanderaan WNI.