JAKARTA, KOMPAS.com - Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Wiranto menegaskan pentingnya revisi Undang Undang No. 15 tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme sebagai landasan untuk mencegah penyebaran radikalisme di masyarakat.
Pemerintah, kata Wiranto, akan meminta pengertian dari Dewan Perwakilan Rakyat dan organisasi masyarakat sipil demi percepatan penyelesaian revisi undang-undang tersebut. Dia berharap ada keleluasaan terkait upaya penindakan hukum dalam memberantas aksi terorisme.
"Kami meminta pengertian dan dukungan di DPR dan LSM memberikan keleluasaan untuk penyempurnaan UU Terorisme," kata Wiranto saat ditemui di kantor Kemenko Polhukam, Jakarta Pusat, Senin (22/8/2016).
Wiranto menilai Undang-Undang Anti-Terorisme merupakan senjata untuk melawan terorisme. Kebijakan itu, kata Wiranto, harus segera diundangkan agar aparat penegak hukum bisa leluasa bermanuver menangani aksi terorisme.
(Baca: Revisi UU Anti-Terorisme Diperkirakan Molor dari Target)
"Kalau defensif, kita tidak akan punya senjata, kita berat dalam memberantas terorisme apabila terus defensif. Senjatanya apa? Ya undang-undang," kata Wiranto.
Menurut dia, UU Anti-Terorisme harus bisa mengakomodir masalah pencegahan. Selain itu, UU ia nilai bisa menjadi pegangan bagi aparat penegak hukum agar bisa langsung bertindak ketika sudah menemukan indikasi adanya bahaya terorisme.
"Kecenderuangan terorisme, ada aksi yang agresif. Kalau sudah terjadi apa bedanya sama pemadam kebakaran," tambah dia.
(Baca: Pasal Keterlibatan TNI dalam UU Anti-Terorisme Diminta Dihapus)
Pemerintah dan DPR RI tengah membahas revisi Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. UU hasil revisi tersebut nantinya diharapkan dapat memperkuat pencegahan atau deteksi dini pelaku tindak pidana terorisme pada aparat keamanan.
Namun, selama ini revisi UU Antiterorisme menimbulkan pertentangan dari masyarkat sipil.
Pasal kontroversial
Direktur Imparsial Al Araf mengatakan ada enam pasal kontroversial yang patut dikaji ulang dalam RUU Antiterorisme karena berpotensi menimbulkan penyalahgunaan wewenang.
Pertama, pasal 43b mengenai pelibatan militer dalam penanggulangan terorisme. Menurut dia, aturan tersebut bertimpangan dengan Pasal 7 ayat 2 dan 3 Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI.
"Sehingga tidak perlu lagi diatur dengan UU Terorisme," kata Al Araf di sela rapat dengar pendapat Pansus RUU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (9/6/2016).
(Baca: Luhut: Kalau Pengkritik RUU Anti-terorisme Mengalaminya Sendiri, Baru "Nyaho" Dia!)
Kedua, pasal 31 tentang mekanisme penyadapan perlu ditinjau ulang agar penyadapan menggunakan izin Pengadilan Negeri.
Ketiga, Pasal 13a terkait penebaran kebencian. Agar tak membatasi kebebasan berekspresi, kata Al Araf, perlu diatur secara lebih ketat dengan menganut prinsip-prinsip pada Pasal 20 Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik.
Keempat, Pasal 43a yang kerap disebut sebagai "pasal Guantanamo", lebih baik dihapus. Pasal itu berbunyi "Dalam rangka penanggulangan Tindak Pidana Terorisme, penyidik atau penuntut umum dapat melakukan pencegahan terhadap setiap orang tertentu yang diduga akan melakukan tindak pidana terorisme untuk dibawa atau ditempatkan pada tempat tertentu yang menjadi wilayah hukum penyidik atau penuntut umum dalam waktu paling lama 6 (enam) bulan".
(Baca: Terduga Teroris Ditahan Selama Enam Bulan, RUU Anti-Terorisme Bisa Ciptakan Guantanamo Baru)
Kelima, Pasal 12b ayat (5) yang menyebutkan bahwa selain pidana tambahan seperti yang disebutkan dalam ayat-ayat sebelumnya, warga negara Indonesia yang merupakan pelaku Tindak Pidana Terorisme dapat dicabut kewarganegaraannya oleh pejabat yang berwenang.
"Itu isu kompleks. Seorang WNI akan berpotensi stateless. Jika dia terlibat kejahatan, siapa negara yang memproses hukumnya?" kata Al Araf.
Pasal berikutnya adalah Pasal 25 yang mengatur tentang perpanjangan masa penangkapan dan penahanan. Jika mau diberlakukan, lanjut dia, maka perlu ada mekanisme check and balance.
"Kalau di beberapa negara ada hakim komisaris untuk menilai apakah ini perlu apa tidak. Kalau di Indonesia sebaiknya evaluasinya oleh Komnas HAM, DPR dan pemerintah setiap tahunnya," ucap Al Araf.