JAKARTA, KOMPAS.com - Mantan Sekretaris Mahkamah Agung, Nurhadi Abdurachman, mengakui bahwa mantan petinggi Lippo Group, Eddy Sindoro, pernah memintanya untuk membantu mengurus salah satu perkara pengajuan peninjauan kembali (PK).
Meski demikian, Nurhadi menyatakan tidak dapat mengingat perkara apa yang dimintakan oleh Eddy Sindoro.
Hal itu diakui Nurhadi saat ia memberikan keterangan sebagai saksi di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, Senin (15/8/2016).
Nurhadi menjadi saksi bagi terdakwa pegawai PT Artha Pratama Anugerah, Doddy Aryanto Supeno.
"Pak Eddy Sindoro mengeluh, kenapa perkara di PN Jakarta Pusat tidak dikirim-kirim. Tetapi, saya tidak tahu detail, itu bisa dikirim atau tidak," ujar Nurhadi kepada Jaksa Penuntut dari Komisi Pemberantasan Korupsi.
(baca: Besan Nurhadi hingga Hakim Tinggi Diduga Ikut Atur Perkara di MA)
Menurut Nurhadi, seingat dia perkara yang dimaksud Eddy terkait upaya PK salah satu pihak ke Mahkamah Agung. Pengajuan PK dilakukan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Nurhadi mengakui bahwa ia dan Eddy merupakan teman dekat yang sudah kenal sejak tahun 1975.
Setelah mendapat keluhan dari Eddy Sindoro, Nurhadi kemudian menghubungi panitera PN Jakarta Pusat, Edy Nasution.
Nurhadi meminta agar berkas perkara sesuai yang diminta Eddy Sindoro, segera dikirimkan ke Mahkamah Agung.
"Memang, jadi Sekretaris MA saya punya kewenangan dan tanggung jawab terhadap aparatur, untuk menghindari keluhan atau pengaduan, inilah yang kami lakukan," kata Nurhadi.
Nama Nurhadi disebut dalam surat dakwaan terhadap Doddy Aryanto Supeno. Doddy didakwa memberikan suap sebesar Rp 150 juta kepada panitera Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Edy Nasution.
Dalam dakwaan tersebut, Nurhadi berperan mempercepat pengurusan pengajuan PK yang telah lewat batas waktu pengajuannya.
Keterlibatan Nurhadi terkait pengajuan PK perkara niaga PT Across Asia Limited (AAL) melawan PT First Media.
Saat itu, Nurhadi menghubungi Edy Nasution melalui telepon, dan dia meminta agar berkas perkara PT AAL segera dikirimkan ke MA.
Berdasarkan putusan kasasi Mahkamah Agung pada 31 Juli 2013, PT Across Asia Limited dinyatakan pailit. Putusan tersebut telah diberitahukan oleh PN Jakpus pada 7 Agustus 2015.
Hingga lebih dari 180 hari setelah putusan dibacakan, PT AAL tidak juga mengajukan upaya hukum PK ke MA.
Sesuai Pasal 295 ayat 2 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan, batas waktu pengajuan PK adalah 180 hari sejak putusan dibacakan.
Namun, untuk menjaga kredibilitas PT AAL yang juga sedang berperkara di Hongkong, mantan petinggi Lippo Group Eddy Sindoro menugaskan pegawai (bagian legal) PT Artha Pratama Anugerah Wresti Kristian Hesti agar mengupayakan pengajuan PK di MA. PT AAL dan PT Artha Pratama Anugrah merupakan anak usaha Lippo Group.
Menindaklanjuti perintah tersebut, Hesti kemudian menemui Edy Nasution di PN Jakpus, pada Februari 2016.
Karena dijanjikan akan diberikan sejumlah uang, Edy akhirnya setuju untuk menerima pengajuan PK yang telah lewat batas waktunya.
Eddy Sindoro kemudian menyetujui pemberian uang tersebut, dan meminta Presiden Direktur PT Paramount Enterprise Ervan Adi Nugroho (anak usaha Lippo Group), untuk menyiapkan uang.
Selanjutnya, disepakati imbalan bagi Edy Nasution sebesar Rp50 juta. Penyerahan dilakukan oleh Doddy di Basement Hotel Acacia, Jakarta, pada 20 April 2016. Setelah serah terima, Doddy dan Edy Nasution ditangkap petugas KPK.