JAKARTA, KOMPAS.com - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) akan terus berupaya menghadirkan mantan petinggi Lippo Group Eddy Sindoro.
Eddy sedianya akan diperiksa sebagai saksi dalam kasus dugaan suap panitera PN Jakarta Pusat.
Namun, tiga kali dipanggil KPK, ia selalu mangkir tanpa keterangan.
KPK bisa melakukan pemanggilan paksa terhadap yang bersangkutan.
"Ya bisa saja (panggil paksa), wong di Kolombia saja bisa didatangkan," ujar Ketua KPK Agus Rahardjo, di Gedung Lembaga Administrasi Negara, Jalan Veteran, Jakarta Pusat, Rabu (10/8).
(Baca: KPK dan Diten Imigrasi Beda Keterangan soal Keberadaan Edy Sindoro)
Sebelumnya, Pelaksana Harian Kepala Biro Humas KPK Yuyuk Andriati mengatakan, saat ini Eddy sedang berada di luar negeri.
"Eddy Sindoro memang sudah tiga kali dipanggil dan tidak ada keterangan. Penyidik akan melakukan upaya lain untuk bisa menghadirkan dia sebagai saksi. Memang keberadaannya saat ini masih di luar negeri," ujar Yuyuk Andriati di Gedung KPK, Jakarta, Selasa (9/8/2016).
Masih di Indonesia
Padahal, sebelumnya pihak Imigrasi telah beberapa kali memastikan bahwa Eddy Sindoro masih berada di Indonesia.
Salah satunya, keterangan Kepala Bagian Hubungan Masyarakat Ditjen Imigrasi Heru Santoso, pada Jumat (10/6/2016).
Menurut Heru, Eddy memang sempat berada di Singapura.
Namun, keberadaan Eddy di Singapura tersebut sebelum KPK meminta agar salah satu mantan petinggi di Lippo Group itu dicegah ke luar negeri.
(Baca: Ditjen Imigrasi Pastikan Eddy Sindoro Masih di Indonesia)
Saat kembali dikonfirmasi terkait keberadaan Eddy, Heru memastikan bahwa dalam data pelintasan imigrasi, Eddy masih berada di Indonesia.
"Jika melalui jalur resmi tidak mungkin bisa, pasti ditolak jika atas nama Eddy Sindoro. Secara hukum, dia masih dalam daftar pencegahan, kami tidak tahu jika melalui jalur ilegal," kata Heru, saat dihubungi, Selasa.
Tangkap tangan PN Jakpus
Sebelumnya, KPK menangkap tangan Panitera Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Edy Nasution dan seorang pekerja swasta bernama Doddy Arianto Supeno.
Keduanya telah ditetapkan sebagai tersangka selaku pemberi dan penerima suap.
Dalam kasus ini, Doddy didakwa memberi suap sebesar Rp150 juta kepada Edy Nasution.
Ada pun, uang suap sebesar Rp150 juta tersebut diberikan agar panitera PN Jakarta Pusat, Edy Nasution, menunda proses "aanmaning" atau peringatan eksekusi terhadap PT Metropolitan Tirta Perdana (MTP), dan menerima pendaftaran peninjauan kembali PT Across Asia Limited (AAL).
Padahal, waktu pengajuan PK tersebut telah melewati batas yang ditetapkan undang-undang. Perusahaan yang berperkara tersebut merupakan anak usaha Lippo Group.
Doddy didakwa melakukan penyuapan secara bersama-sama dengan pegawai (bagian legal) PT Artha Pratama Anugerah Wresti Kristian Hesti, Presiden Direktur PT Paramount Enterprise Ervan Adi Nugroho, dan petinggi Lippo Group, Eddy Sindoro.
Awalnya, Lippo Group menghadapi beberapa perkara hukum, sehingga Eddy Sindoro menugaskan Hesti untuk melakukan pendekatan dengan pihak-pihak lain yang terkait dengan perkara.
Eddy Sindoro juga menugaskan Doddy untuk melakukan penyerahan dokumen maupun uang kepada pihak-pihak lain yang terkait perkara.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.