JAKARTA, KOMPAS.com - Pemerintah diminta mengkaji ulang praktik hukuman mati. Sebab, dikhawatirkan ada kesalahan di dalam proses hukum hingga jatuh vonis mati.
Hal itu disampaikan Direktur Eksekutif Imparsial Al Araf saat memberikan keterangan di Kantor Imparsial, Jakarta, Minggu (24/7/2016).
"Hukuman mati bukan hanya melanggar hak hidup yang telah dijamin di dalam konstitusi UUD 1945, tetapi juga berpotensi terjadinya salah penghukuman," kata Al Araf.
Al Araf lantas memberikan contoh vonis bagi terpidana mati kasus narkoba, Zulfiqar Ali. Warga Palestina itu dihukum terkait kepemilikan 300 gram heroin tahun 2004.
(baca: Eksekusi Mati Dianggap Cara Pembalasan yang Tak Timbulkan Efek Jera)
Selama proses penangkapan dan penahanan, Zulfiqar kerap mengalami penyiksaan dan kekerasan oleh oknum kepolisian.
"Tindakan itu dilakukan agar Zulfiqar mengakui kepemilikan heroin tersebut," ujarnya.
Saut Rajagukguk, pengacara Zulfiqar menambahkan, kejanggalan proses hukum terhadap kliennya tak berhenti sampai di situ.
Selain tidak didampingi penasehat hukum hingga pemeriksaan pertama di Pengadilan Negeri Tangerang, Zulfiqar juga tidak didampingi oleh penerjemah.
"Zulfiqar juga tidak diperkenankan menghubungi Kedutaan Besar Pakistan sejak ditangkap," kata dia.
(baca: Eksekusi Mati Dinilai Sarat Kepentingan Politis)
Saut menilai, kliennya seharusnya dapat terbebas dari hukuman tersebut. Sebab, saksi kunci dalam kasus itu, Gurdiph Singh, telah mencabut keterangan yang memberatkan kliennya.
Menurut Gurdiph, heroin itu bukan milik Zulfiqar, melainkan milik warga negara Nigeria bernama Hilary.
"Gurdiph dijanjikan akan diringankan hukumannya bila menyebut Zulfiqar sebagai pemilik heroin," kata dia.
Belakangan, kata Saut, Gurdiph diketahui juga dijatuhi vonis yang sama.
Sementara itu, Peneliti Imparsial Evita Rose mengatakan, praktik hukuman mati rentan dilaksanakan lantaran tak jarang ditemukan fakta baru setelah hukuman dilakukan.
Dalam kasus Zulfiqar, misalnya, adanya pengakuan dari Gurdiph yang menyatakan ketiadaan peran Zulfiqar dalam kasus kepemilikan heroin merupakan buktinya.
"Karena itu kami meminta kepada Pak Jokowi atas nama kemanusiaan agar eksekusi Zulfiqar Ali dibatalkan saja, karena banyak unfair trial," ujar Evita.
(baca: Persiapan Eksekusi Rampung, Jaksa Agung Tinggal Tunggu PK Para Terpidana Mati)
Al Araf menambahkan, unfair trial tak hanya terjadi dalam kasus Zulfikar saja. Dalam kasus Zainal Abidin, terpidana mati kasus kepemilikan narkoba, berkas permohonan Peninjauan Kembali yang diajukan Zainal rupanya terselip 10 tahun di PN Palembang sebelum sampai ke Mahkamah Agung tahun 2015.
"Pemerintah tidak boleh mengorbankan nyawa orang lain untuk mengharapkan efek jera yang belum tentu timbul atau dapat mencegah orang lain dari perbuatan jahat. Terlebih nyawa yang menjadi korban tersebut belum tentu bersalah atau dihasilkan dari proses hukum yang tidak adil," kata dia.
Kejaksaan Agung dalam waktu dekat akan kembali melaksanakan hukuman mati tahap tiga. Namun, hingga kini belum diketahui kapan dan siapa saja terpidana mati yang akan menjalani vonis tersebut.