Di Australia dan Portugal, misalnya, pemain diharap tidak menerobos masuk rumah atau tanah milik orang lain.
Holocaust Museum di Washington DC dan Auschwitz-Birkenau State Museum Polandia juga meminta tak ada yang bermain Pokemon Go di museum itu dengan alasan ketidakpantasan.
Hal serupa untuk larangan bermain Pokemon Go di tempat-tempat ibadah di Jepang. Belarus pun hanya mengingatkan warganya untuk tidak bermain Pokemon Go di kawasan rawan ranjau darat.
Korsel membatasi
Namun, di Korea Selatan yang memang melarang Google Map, permainan ini tak bisa digunakan.
Pemerintah Korea Selatan hanya membolehkan warganya bermain Pokemon Go di sebuah kota dekat perbatasan dengan Korea Utara, yakni Kota Sokcho. Sementara Malaysia dan Singapura tak merasa harus melarang permainan ini.
Damar menilai, tak perlu menggunakan Pokemon Go jika pihak asing ingin mengakses data dan gambar wilayah pertahanan. Google Map dan Google Earth memiliki peralatan dan akses yang lebih baik ketimbang sekadar gambar yang diambil dan dikirim via ponsel pintar.
Bahkan, peta pintar berbasis Google Map, seperti Waze sekalipun, bisa memotret kemacetan dan dikirim ke server-nya.
"Di mana server-nya? Sekarang di Google karena Waze dibeli Google," ujarnya.
Oleh karena itu, Damar lebih khawatir dengan metadata dari pemain yang bisa dijadikan sebagai bahan profiling oleh penjahat. Kendati Google menjamin proteksi pengguna akun Gmail, potensi ini tetap ada.
Produktivitas menurun
Di sisi lain, Guru Besar Sosiologi Universitas Gadjah Mada Prof Heru Nugroho melihat fenomena Pokemon Go ini sebagai masuknya hiburan ke ruang personal melalui gawai.
Masyarakat kini bisa mengubah mode bekerja ke bermain hanya dengan jentikan jari di layar sentuh ponsel pintar.
Ketika masyarakat mulai sibuk sendiri dengan gawai, Pokemon Go yang mengharuskan seseorang bergerak dengan "teropong" layar permainan di gawai untuk mencari Pokemon semakin menghipnotis semua kalangan.
"Orang seakan melayani mesin itu sendiri dan akhirnya terjadi dehumanisasi," kata Heru.
Namun, larangan belum tentu menjadi solusi. Sebab, gawai bisa dilihat sebagai pisau bermata dua. Gawai bisa digunakan untuk kerja yang lebih efisien. Di sisi lain, hiburan juga bisa diperoleh dari gawai dan ini menurunkan produktivitas.
Oleh karena itu, Heru menilai pemerintah semestinya mencerdaskan masyarakat, membuat masyarakat kritis dan mampu belajar dari bahaya permainan seperti kecelakaan, tidak bisa bekerja, dan lainnya.
Saat masyarakat memahami, popularitas Pokemon Go akan turun dengan sendirinya. (Nina Susilo)
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.