Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 24/07/2016, 16:09 WIB

Demam Pokemon Go melanda kendati permainan ini belum diluncurkan di Indonesia. Tak hanya di jalan, di kantor-kantor pun banyak orang yang tak lepas dari telepon pintarnya dan memburu Pokemon.

Game berbasis augmented reality ini menarik lantaran pemainnya seakan terpacu untuk menangkap Pokemon yang lokasinya disesuaikan dengan dunia nyata.

Namun, ketika seseorang terpaku dengan layar gawai dengan gambaran Pokemon di dalamnya, kesadaran akan sekeliling seakan hilang.

Risiko tabrakan, menerobos masuk properti orang lain, ataupun melanggar wilayah yang dinilai masyarakat sekitar sebagai suci atau sakral pun menjadi tinggi.

Namun, di Indonesia, pejabat sekelas gubernur, menteri, sampai wakil presiden ikut terpantik berkomentar. Larangan demi larangan pun muncul.

Para pemain Pokemon Go dilarang berkeliaran dan berburu Pokemon di lingkungan markas Tentara Nasional Indonesia, Kepolisian Negara RI, sampai Kompleks Istana Kepresidenan.

Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Yuddy Chrisnandi pun menerbitkan surat edaran bertanggal 20 Juli 2016.

Permainan virtual tersebut dilarang dimainkan di lingkungan instansi pemerintah. Alasannya, mengantisipasi potensi kerawanan di bidang keamanan dan kerahasiaan instansi pemerintah.

Selain itu, larangan dikeluarkan juga untuk menjaga produktivitas dan disiplin aparatur sipil negara. Pemecatan pun bisa dikenakan kepada pegawai yang melanggarnya.

Pengajar Kebijakan Publik Universitas Padjadjaran, Bandung, Yogi Suprayogi menilai, larangan itu bisa diterima. Sebab, aparatur sipil negara (ASN) memang terikat janji tidak membocorkan rahasia negara.

Namun, semestinya hal ini tak hanya berlaku untuk PNS, tetapi juga pejabat negara ataupun keluarga mereka yang notabene bukan ASN.

Di sisi lain, semestinya larangan ini tak hanya menyangkut permainan virtual. Kenyataannya, banyak pegawai pemerintah bermain gim di komputer meja atau gawai mereka pada jam kerja. "Jika alasannya produktivitas, seharusnya larangan itu mencakup segala bentuk permainan," ujar Yogi.

Mata-mata

Pokemon Go, yang diciptakan John Hanke dari Niantic Labs, menjadi luar biasa karena berbasis Google Maps dan Google Street Views.

Namun, apakah aktivasi geolokasi di ponsel pintar membuat pemain seakan menjadi "mata-mata" sehingga data gambar instalasi pertahanan suatu negara bisa dipantau pihak asing?

Koordinator Regional Southeast Asia Freedom of Expression Network Damar Juniarto menilai, hal ini terlampau berlebihan.

Sejauh ini, negara-negara dengan teknologi maju tak menganggap Pokemon Go sebagai masalah pertahanan. Umumnya, larangan lebih pada penghargaan atas hak orang lain.

Di Australia dan Portugal, misalnya, pemain diharap tidak menerobos masuk rumah atau tanah milik orang lain.

Holocaust Museum di Washington DC dan Auschwitz-Birkenau State Museum Polandia juga meminta tak ada yang bermain Pokemon Go di museum itu dengan alasan ketidakpantasan.

Hal serupa untuk larangan bermain Pokemon Go di tempat-tempat ibadah di Jepang. Belarus pun hanya mengingatkan warganya untuk tidak bermain Pokemon Go di kawasan rawan ranjau darat.

Korsel membatasi

Namun, di Korea Selatan yang memang melarang Google Map, permainan ini tak bisa digunakan.

Pemerintah Korea Selatan hanya membolehkan warganya bermain Pokemon Go di sebuah kota dekat perbatasan dengan Korea Utara, yakni Kota Sokcho. Sementara Malaysia dan Singapura tak merasa harus melarang permainan ini.

Damar menilai, tak perlu menggunakan Pokemon Go jika pihak asing ingin mengakses data dan gambar wilayah pertahanan. Google Map dan Google Earth memiliki peralatan dan akses yang lebih baik ketimbang sekadar gambar yang diambil dan dikirim via ponsel pintar.

Bahkan, peta pintar berbasis Google Map, seperti Waze sekalipun, bisa memotret kemacetan dan dikirim ke server-nya.

"Di mana server-nya? Sekarang di Google karena Waze dibeli Google," ujarnya.

Oleh karena itu, Damar lebih khawatir dengan metadata dari pemain yang bisa dijadikan sebagai bahan profiling oleh penjahat. Kendati Google menjamin proteksi pengguna akun Gmail, potensi ini tetap ada.

Produktivitas menurun

Di sisi lain, Guru Besar Sosiologi Universitas Gadjah Mada Prof Heru Nugroho melihat fenomena Pokemon Go ini sebagai masuknya hiburan ke ruang personal melalui gawai.

Masyarakat kini bisa mengubah mode bekerja ke bermain hanya dengan jentikan jari di layar sentuh ponsel pintar.

Ketika masyarakat mulai sibuk sendiri dengan gawai, Pokemon Go yang mengharuskan seseorang bergerak dengan "teropong" layar permainan di gawai untuk mencari Pokemon semakin menghipnotis semua kalangan.

"Orang seakan melayani mesin itu sendiri dan akhirnya terjadi dehumanisasi," kata Heru.

Namun, larangan belum tentu menjadi solusi. Sebab, gawai bisa dilihat sebagai pisau bermata dua. Gawai bisa digunakan untuk kerja yang lebih efisien. Di sisi lain, hiburan juga bisa diperoleh dari gawai dan ini menurunkan produktivitas.

Oleh karena itu, Heru menilai pemerintah semestinya mencerdaskan masyarakat, membuat masyarakat kritis dan mampu belajar dari bahaya permainan seperti kecelakaan, tidak bisa bekerja, dan lainnya.

Saat masyarakat memahami, popularitas Pokemon Go akan turun dengan sendirinya. (Nina Susilo)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Sidang SYL, KPK Hadirkan Direktur Pembenihan Perkebunan Jadi Saksi

Sidang SYL, KPK Hadirkan Direktur Pembenihan Perkebunan Jadi Saksi

Nasional
Proyek Jet Tempur KF-21 Boramae dengan Korsel yang Belum Capai Titik Temu…

Proyek Jet Tempur KF-21 Boramae dengan Korsel yang Belum Capai Titik Temu…

Nasional
Indonesia Kecam Serangan Israel ke Rafah, Minta PBB Bertindak

Indonesia Kecam Serangan Israel ke Rafah, Minta PBB Bertindak

Nasional
Ganjar dan Anies Pilih Oposisi, Akankah PDI-P Menyusul?

Ganjar dan Anies Pilih Oposisi, Akankah PDI-P Menyusul?

Nasional
Kata Gibran soal Urgensi Adanya Kementerian Khusus Program Makan Siang Gratis

Kata Gibran soal Urgensi Adanya Kementerian Khusus Program Makan Siang Gratis

Nasional
Riwayat Gus Muhdlor: Hilang Saat OTT, Beralih Dukung Prabowo, Akhirnya Tetap Ditahan KPK

Riwayat Gus Muhdlor: Hilang Saat OTT, Beralih Dukung Prabowo, Akhirnya Tetap Ditahan KPK

Nasional
Cek Hotel dan Bus Jemaah Haji, Menag: Semua Baik

Cek Hotel dan Bus Jemaah Haji, Menag: Semua Baik

Nasional
Menerka Peluang Anies dan Ahok Berduet pada Pilkada DKI Jakarta

Menerka Peluang Anies dan Ahok Berduet pada Pilkada DKI Jakarta

Nasional
Gibran Sebut Ada Pembahasan soal Kementerian Khusus Program Makan Siang Gratis, tapi Belum Final

Gibran Sebut Ada Pembahasan soal Kementerian Khusus Program Makan Siang Gratis, tapi Belum Final

Nasional
Pengamat: Jangankan 41, Jadi 100 Kementerian Pun Tak Masalah asal Sesuai Kebutuhan

Pengamat: Jangankan 41, Jadi 100 Kementerian Pun Tak Masalah asal Sesuai Kebutuhan

Nasional
Utak-atik Strategi Jokowi dan Gibran Pilih Partai Politik, PSI Pasti Dicoret

Utak-atik Strategi Jokowi dan Gibran Pilih Partai Politik, PSI Pasti Dicoret

Nasional
Gibran Lebih Punya 'Bargaining' Gabung Partai Usai Dilantik Jadi Wapres

Gibran Lebih Punya "Bargaining" Gabung Partai Usai Dilantik Jadi Wapres

Nasional
Wacana Prabowo Tambah Kementerian Dianggap Politis dan Boroskan Uang Negara

Wacana Prabowo Tambah Kementerian Dianggap Politis dan Boroskan Uang Negara

Nasional
'Golkar Partai Besar, Tidak Bisa Diobok-obok Gibran'

"Golkar Partai Besar, Tidak Bisa Diobok-obok Gibran"

Nasional
Prabowo Ingin Tambah Menteri, Wapres Ma'ruf Amin Ingatkan Pilih yang Profesional

Prabowo Ingin Tambah Menteri, Wapres Ma'ruf Amin Ingatkan Pilih yang Profesional

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com