JAKARTA, KOMPAS.com - Indonesia Corruption Watch (ICW) menjadikan Mahkamah Agung Belanda sebagai salah satu contoh perilaku positif sebuah badan peradilan.
Peneliti ICW Aradila Caesar menganggap, kamar pidana Mahkamah Agung patut mencontoh sistem yang diterapkan di Belanda tersebut.
Ia menjelaskan, kamar pidana MA Belanda turut mendiskusikan hasil putusan tepat setelah vonis dijatuhkan. Vonis baru bisa dieksekusi jika hasil pleno hakim agung di kamar pidana telah diputus.
"Jadi kalau MA kamar pidananya ada 15 orang, putusan majelis hakim akan diputus lagi oleh 15 orang itu. Jadi akan menutup ruang korupsinya di situ," kata Aradila di Kantor ICW, Kalibata, Jakarta Selatan, Sabtu (23/7/2016).
Dengan cara seperti ini, lanjut Aradila, terdakwa akan kesulitan jika berniat menyuap hakim agung.
Alasannya, terdakwa tak bisa haya menyuap tiga orang hakim agung dan harus menyuap seluruh 15 orang hakim demi mendapatkan vonis yang dia inginkan.
Dan, Aradila berpendapat, Ketua Kamar Pidana MA Artidjo Alkotsar tak mungkin dapat disuap.
"Kami coba dorong itu. Fungsi pleno dimaksimalkan," tuturnya.
Jika mengikuti sistem pleno kamar pidana di Belanda, kata dia, maka kemungkinan para hakim agung disuap terdakwa jauh lebih kecil.
Aparat penegak hukum juga akan lebih mudah melacak jika suap diberikan kepada 15 orang hakim agung.
Indikasi suap juga bisa dilihat dari hasil putusan jika bunyi putusan terdengar ganjil.
"Melacak 15 orang itu disuap akan lebih mudah daripada melacak suap tiga orang (hakim agung). Putusan akan terlihat ganjil, indikasi akan lebih besar," ujar Aradila.
Sementara, hakim agung Artidjo Alkostar belakangan kembali ramai dibicarakan.
Artidjo dikenal sebagai hakim "galak" dalam menjatuhkan hukuman, terutama bagi para koruptor.
Vonis berat menanti terpidana koruptor jika kasasi yang mereka ajukan ditangani Artidjo.
Namun, para koruptor ternyata tak kehilangan akal untuk mencari celah agar mendapat keringanan.