JAKARTA, KOMPAS.com - Kepala Dinas Tata Air DKI Jakarta Teguh Hendrawan memenuhi panggilan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai saksi atas kasus dugaan tindak pidana pencucian uang dengan tersangka anggota DPRD DKI Jakarta Mohamad Sanusi.
Teguh mengaku dicecar sejumlah pertanyaan oleh penyidik.
"Lebih dari 10 (pertanyaan)," ujar Teguh, di Gedung KPK, Rabu (14/7/2016).
Ia mengatakan, materi pertanyaan yang diajukan KPK terkait pengadaan barang oleh Dinas Tata Air.
"Iya, soal pengadaan pompa air termasuk suku cadang tahun 2012 sampai 2014," kata dia.
Selain itu, kata Teguh, KPK menggali informasi berkaitan dengan proses lelang, kontrak, hingga pembayarannya.
Teguh mengakui bahwa dalam setiap proyek pengadaan barang, pihaknya selalu berkordinasi dengan Komisi D di DPRD DKI Jakarta.
"Kami kan di Dinas Tata Air memang di bawah Komisi D di bidang pembangunan. Nah ini terkait juga, kebetulan kasus yang ditangani terkait juga dengan masalah pengadaan barang pompa air termasuk suku cadangnya. Ini mungkin keterkaitan dengan pengembangan penyidik ya, kami enggak lihat sejauh itu (peran Sanusi) kami hanya dimintai data terkait pengadaan mesin pompa termasuk suku cadangnya, itu saja," kata dia.
Teguh juga mengatakan, ada 6 proyek pengadaan pompa oleh pengembang terkait reklamasi pada 2015.
Namun, hingga saat ini belum terealisasi.
"Karena perizinannya kan sampai sekarang masih berjalan karena dihentikan jadi belum jadi belum terelaisasikan," kata dia.
Teguh menyebutkan, lokasi pengadaan proyek pompa tersebut di antaranya, yakni di daerah Sentiong, Pasar Ikan, Ancol.
Terkait nilai dari proyek tersebut, ia mengaku tidak tahu secara rinci.
"Saya enggak hafal," kata dia.
Sebelumnya, KPK menetapkan anggota DPRD DKI Jakarta, Mohamad Sanusi, sebagai tersangka kasus dugaan pencucian uang.
Sanusi diduga menempatkan, mentransfer, membelanjakan, menghibahkan atau menitipkan harta yang patut diduga berasal dari hasil korupsi.
Hal tersebut dilakukan untuk menyamarkan asal-usul kepemilikan hasil korupsi. Beberapa aset yang telah disita KPK berupa mobil dan uang milik Sanusi.
Diduga, beberapa aset berupa properti milik Sanusi juga terkait pencucian uang.
Sanusi disangka melanggar Pasal 3 atau Pasal 4 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.
Surat perintah penyidikan ditandatangani pimpinan KPK pada 30 Juni 2016.
Sebelumnya, KPK telah menetapkan Sanusi sebagai tersangka penerima suap terkait pembahasan rancangan peraturan daerah terkait reklamasi di Pantai Utara Jakarta.
Sanusi diduga menerima uang sebesar Rp2 miliar secara bertahap dari salah satu pimpinan perusahaan pengembang yang ikut dalam proyek reklamasi.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.