Pemerintah mengajukan revisi UU Anti-Terorisme pascaserangan teroris di kawasan Sarinah, Thamrin, Jakarta pada Januari 2016.
Pemerintah mengaku sudah mendeteksi pergerakan kelompok teroris sebelum serangan. Namun, aparat tidak dapat melakukan penangkapan karena terkendala aturan. (baca: BIN Akui Sudah Mendeteksi Potensi Teror ISIS Sejak November 2015)
Pemerintah ingin ada aturan yang memberi ruang untuk melakukan pencegahan. Sejumlah aturan dimasukkan dalam draf revisi UU Anti-Terorisme.
Misalnya, dalam Pasal 43A draf RUU Anti-Terorisme disebutkan bahwa "penyidik atau penuntut umum dalam rangka penanggulangan dapat mencegah orang yang diduga akan melakukan tindak pidana terorisme untuk dibawa dan ditempatkan pada tempat tertentu dalam waktu paling lama 6 bulan."
Ada pula pengaturan tentang ancaman pidana bagi mereka yang hasil karyanya digunakan untuk pelatihan terorisme.
Dalam draf berbunyi setiap orang yang membuat, mengumpulkan, dan/atau menyebarluaskan tulisan atau dokumen, baik tertulis maupun digital yang diketahui atau patut diketahuinya digunakan atau yang akan digunakan untuk pelatihan sebagaimana dimaksud pada Ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling singkat tiga tahun dan paling lama dua belas tahun.
Adapun pelatihan yang dimaksud pada Ayat (1) adalah pelatihan militer, paramiliter, atau pelatihan lain untuk merencanakan, mempersiapkan, atau melakukan terorisme.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.