JAKARTA, KOMPAS.com - Pemerintah dan DPR RI tengah membahas revisi Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.
UU hasil revisi tersebut nantinya diharapkan dapat memperkuat pencegahan atau deteksi dini pelaku tindak pidana terorisme pada aparat keamanan.
Namun, di tengah proses pembahasan, aksi bom bunuh diri terjadi, tepatnya pada Selasa (5/7/2016) pukul 07.30 WIB, di Markas Korps Polres Kota Surakarta, kota asal Presiden Joko Widodo.
Lantas, apakah teror bom Solo itu berimbas pada percepatan pembahasan revisi UU Terorisme?
"Tanpa ada kejadian itu pun, kami akan tetap proses dengan baik," ujar Ketua DPR RI Ade Komarudin saat ditemui usai Shalat Idul Fitri di Masjid Istiqlal Jakarta, Rabu (6/7/2016).
(baca: Identifikasi Sementara, Usia Bom di Solo Hampir Sama dengan Bom Thamrin)
Ade menyadari, banyak pihak yang menyebut pembahasan tersebut terlalu lama. Ade pun mengingatkan bahwa untuk memproduksi undang-undang yang berkualitas memang mesti dibahas komprehensif.
"Apalagi terorisme ini menyangkut banyak hal. Soal ideologinya, soal pencegahannya, soal agama, pendidikan dan lain-lain. UU yang baru nanti harus bisa mengakomodasi semua aspek itu," ujar Ade.
Oleh sebab itu, pasal per pasal harus diteliti betul. Khususnya pasal yang menjelaskan soal pencegahan tindak pidana terorisme.
(baca: Kapolda Jateng: Sidik Jari Pelaku Bom Bunuh Diri Milik Nur Rohman)
Ade berharap, agar pembahasan revisi UU Terorisme dapat segera diselesaikan supaya peristiwa serupa bom di Mapolresta Solo atau rentetan peristiwa teror sebelumnya, dapat diantisipasi sejak dini.
"Kalau UU itu sudah jadi. Ini PR juga untuk Kapolri baru, Pak Tito. Bukan hanya dapat menindak di tempat, tapi juga pencegahan secara ideologi dan praktik agar tidak terjadi (teror) lagi," ujar politisi Partai Golkar itu.
Saat pemahasan revisi UU Anti-Terorisme dalam Rapat Panitia Khusus (Pansus), Polri memberikan catatan kurangnya aspek pencegahan dalam UU Anti-Terorisme saat ini.
Densus 88 merasa kesulitan untuk menekan tindak pidana terorisme di lapangan. (baca: Densus 88: Mereka Latihan Menembak dan Buat Bom, Kami Cuma Bisa Tonton)
"Kami sering mengikuti tersangka teroris yang sebelum tertangkap mereka melakukan latihan menembak dan membuat bom, tapi karena kami baru bisa menangkap mereka saat hendak melakukan aksi, ya pas mereka latihan itu kami cuma bisa tonton saja," ujar perwakilan Densus 88 Polri Kombes Faisal Thayib.
Pemerintah mengajukan revisi UU Anti-Terorisme pascaserangan teroris di kawasan Sarinah, Thamrin, Jakarta pada Januari 2016.
Pemerintah mengaku sudah mendeteksi pergerakan kelompok teroris sebelum serangan. Namun, aparat tidak dapat melakukan penangkapan karena terkendala aturan. (baca: BIN Akui Sudah Mendeteksi Potensi Teror ISIS Sejak November 2015)
Pemerintah ingin ada aturan yang memberi ruang untuk melakukan pencegahan. Sejumlah aturan dimasukkan dalam draf revisi UU Anti-Terorisme.
Misalnya, dalam Pasal 43A draf RUU Anti-Terorisme disebutkan bahwa "penyidik atau penuntut umum dalam rangka penanggulangan dapat mencegah orang yang diduga akan melakukan tindak pidana terorisme untuk dibawa dan ditempatkan pada tempat tertentu dalam waktu paling lama 6 bulan."
Ada pula pengaturan tentang ancaman pidana bagi mereka yang hasil karyanya digunakan untuk pelatihan terorisme.
Dalam draf berbunyi setiap orang yang membuat, mengumpulkan, dan/atau menyebarluaskan tulisan atau dokumen, baik tertulis maupun digital yang diketahui atau patut diketahuinya digunakan atau yang akan digunakan untuk pelatihan sebagaimana dimaksud pada Ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling singkat tiga tahun dan paling lama dua belas tahun.
Adapun pelatihan yang dimaksud pada Ayat (1) adalah pelatihan militer, paramiliter, atau pelatihan lain untuk merencanakan, mempersiapkan, atau melakukan terorisme.