Apa yang Anda bawa saat mudik ke kampung halaman? Banyak pastinya. Itu terlihat dari barang bawaan Anda.
Apa pun moda transportasi yang mengantar Anda ke asal muasal atau tempat di mana Anda berakar, bawaan menjadi pemandangan khas di sana.
Namun, dari sekian banyak bawaan saat mudik, satu yang pasti dibawa setiap pemudik ke kampung halaman mereka. Satu yang pasti itu adalah cerita.
Memang, yang dibawa para pemudik ke kampung halaman tidak selalu cerita tentang keberhasilan gilang gemilang di perantauan. Cerita kegagalan bisa jadi bawaan yang hendak ditumpahkan di kampung halaman.
Seperti saya alami, kampung halaman itu seperti samudera. Ia menerima dengan tangan terbuka. Tidak membeda-bedakan antara yang berhasil dan gagal. Semua diterima dalam dekapan hangat tangannya. Seperti samudera, kampung halaman juga penyedia energi tak terduga.
Karena membayangkan kampung halaman seperti samudera lapang dan terbuka tangannya, mudik lantas terasa menyenangkan apa pun bawaan kita. Sekadar macet di jalan tidak sebanding dengan perasaan senang di kampung halaman.
Tidak heran, kemacetan berjam-jam yang mewarnai perjalanan darat ke kampung halaman diceritakan dengan wajah ceria. Bahkan, kerap bangga dengan membanding-bandingkan.
Cerita lamanya jam siksaan di jalan menuju kampung halaman bernama kemacetan seseorang dibandingkan dengan cerita kemacetan seorang lain yang lebih tersiksa. Semua itu diceritakan dengan wajah ceria. Kegembiraan yang diarayakan di kampung halaman mengalahkan segala macam siksaan.
Lagi pula, cerita tentang kemacetan di jalan yang baru saja dialami para pemudik lebih terasa membanggakan dibanding cerita-cerita sebelumnya di perantauan.
Cerita dari Jakarta
Kita ambil contoh cerita-cerita di Jakarta yang menjadi titik berangkat sebagian besar pemudik ke kampung halaman mereka. Sebagai ibukota negara dan pusat ekonomi Indonesia, Jakarta adalah kota yang kesepian di hari raya.
Kesepian itu menjadi nestapa mengingat mereka yang pasti tidak akan meninggalkan Jakarta adalah mereka yang sepekan sebelum hari raya dinyatakan sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi atau KPK.
Kamis (30/6/2016), KPK menangkap panitera pengganti Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Santoso karena suap. Santoso ditangkap sekitar pukul 18.30 di kawasan Matraman, Jakarta Pusat, sesaat setelah menerima 28.000 dollar Singapura (sekitar Rp 272 juta) dalam dua amplop.
Uang dalam dua amplop berisi 25.000 dollar Singapura dan 3.000 dolar Singapura itu diberikan olehh Ahmad Yani, staf penasihat hukum Raoul Adhitya Wiranatakusumah di Kantor Hukum Wiranatakusumah Legal & Consultant.
Selain menetapkan Santoso dan Ahmad sebagai tersangka, KPK juga menetapkan Raoul yang terdeteksi KPK sedang berlibur ke luar negeri sebagai tersangka.
Menurut Wakil Ketua KPK Basaria Panjaitan, suap 28.000 dollar Singapura itu diberikan Raoul untuk memenangkan perkara perdata kliennya yaitu PT Kapuas Tunggal Persada yang digugat PT Mitra Maju Sukses.
Dalam putusan siang hari sebelum operasi tangkap tangan KPK ini, PT Kapuas Tunggal Persada dimenangkan majelis hakim. Sambil memburu Raoul pemberi suap, penyidik KPK tengah menyelidiki kemungkinan keterlibatan hakim.
Untuk cerita ini, saya sarankan untuk tidak Anda bawa ke kampung halaman. Biarkan cerita ini tinggal tetap di Jakarta.
Wakil rakyat yang tak jera
Cerita lain dari Jakarta. Masih tentang nestapanya Jakarta di hari raya karena kepastian ditemani para tersangka kasus korupsi yang tidak pernah jera.
Dua hari sebelum penangkapan Santoso dan Ahmad serta perburuan terhadap Raoul, Selasa (28/6/2016) malam, KPK menangkap anggota Komisi III DPR, I Putu Sudiartana.
Bertugas di Komisi III yang membidangi persoalan hukum, Putu yang merupakan Wakil Bendahara Umum Partai Demokrat ditengarai bisa mengatur proyek infrastruktur yang jadi ranah Komisi V.
Proyek infrastruktur berupa 12 ruas jalan itu berada di Sumatera Barat. Putu berasal dari daerah pemilihan Bali.
Dalam operasi ini, KPK menyita uang 40.000 dollar Singapura dan bukti transfer Rp 50 juta atau total sekitar Rp 500 juta. Putu meminta komisi proyek (ijon) atas 12 ruas jalan yang bakal diurusnya. Nilai proyeknya sekitar Rp 300 miliar.
KPK menetapkan lima tersangka untuk kasus ini yaitu Putu, Noviyanti (sekretaris Putu) dan tiga orang kepercayaan Putu yaitu Suhemi, Suprapto, dan Yogan Askan.
Meskipun layak sebagai cerita karena penangkapan Putu dilakukan sesaat setelah foto-foto bersama pimpinan KPK di acara buka bersama KPK, jangan bawa cerita ini ke kampung halaman saat hari raya.
Jika tetap hendak membawa cerita ini ke kampung halaman, Anda perlu mempertimbangkan cerita operasi tangkap tangan lainnya yang dilakukan KPK. Sebagai anggota DPR periode 2014-2016, Putu tidak sendirian tertangkap tangan menerima suap oleh KPK.
Masih ada tiga lainnya berkelakuan sama. Mereka adalah Adriansyah, anggota Komisi IV DPR dari Partai Demokrati Indonesia Perjuangan (PDI-P) yang ditangkap KPK 9 April 2015; Dewie Yasin Limpo, anggota Komisi VII DPR dari Partai Hanura yang ditangkap KPK 20 Oktober 2015; dan Damayanti Wisnu Putranti, anggota Komisi V DPR dari PDI-P yang ditangkap13 Januari 2016.
Sebagai bumbu, jika berkeras hendak menceritakan ini saat mudik, semua operasi tangkap tangan dilakukan KPK saat malam tiba.
Tetapi saran saya, jangan membawa cerita ini ke kampung halaman Anda. Selain akan merusak mood hari raya Anda, cerita korupsi pejabat negara ini akan sangat menyita waktu juga. Untuk periode belum genap dua tahun saja, sudah ada emat anggota DPR yang tertangkap tangan menerima suap oleh KPK.
Belum jika Anda menambahkan cerita operasi tangkap tangan KPK di luar anggota DPR yang kerap minta disebut sebagai "yang mulia". Untuk katergori umum, di semester pertama 2016 ini, KPK telah melakukan 10 operasi tangkap tangan. Dari 10 kasus itu, lima kasus di antaranya melibatkan apartatur pengadilan seperti Santoso.
Terbayang akan tersitanya waktu Anda di kampung halaman jika harus menceritakan kasus korupsi yang sepertinya tidak surut ini. Karena itu, saran saya, biarkan cerita korupsi ini tetap tinggal di Jakarta.
Soal keteguhan
Di kampung halaman yang tidak terlalu lama, baiknya menggali cerita-cerita inspiratif di sekitar Anda. Selain baik untuk jiwa, cerita inspiratif itu jika ditularkan saat Anda kembali dari kampung halaman ke Jakarta misalnya akan banyak manfaatnya.
Cerita inspiratif yang baik unjuk jiwa itu yang seperti apa? Pertanyaan ini mungkin muncul di benak Anda.
Seminggu sebelum Hari Kartini 2016, mereka menyemen kaki di depan Istana Merdeka, Jakarta. Sembilan perempuan petani itu adalah Sukinah, Sutini, Surani, Riem Ambarwati, Ngadinah, Deni Y, Karsupi, Martini, dan Siyem. Mengenakan kebaya, jarik, dan caping, mereka menggedor tembok-tembok kekuasaan yang menurut mereka tuli selama ini.
Memasung sepasang kaki dengan semen di depan Istana Merdeka bukan aksi pertama mereka. Setahun sebelumnya, 6 April 2015, "Kartini Kendeng" ini juga menggelar aksi di depan Istana Merdeka. Mereka membunyikan lesung dengan alu sebagai tanda bahaya akan datangnya bencana lantaran hadirnya pabrik semen.
Penghuni Istana Merdeka bukannya tuli dengan aksi yang disuarakan sejak 2013 ini. Di aksi terakhir, dua staf kepresidenan yaitu Tetan Masduki dan Johan Budi SP menghampiri dan mendengar. Menurut mereka, Presiden Joko Widodo berjanji mengagendakan pertemuan.
Janji adalah harapan
Janji itu adalah harapan. Harapan itu lantas menjadi pegangan. Selain ditandai dengan dilepasnya cor semen atas sembilan pasang kaki "Kartini Kendeng", janji itu dicatat bersamaan dengan hadirnya lengkung pelangi.
Atas janji ini, tiga bulan berjalan tidak terdengar adanya realisasi. Terbiasa teguh bersuara lantang dan konsisten, "Kartini Kendeng" tetap menyuarakan kegelisahan mereka melalui aksi. Terakhir adalah di tenda perjuangan yang didirikan di Rembang, Jawa Tengah.
Bersamaan waktunya dengan operasi tangkap tangan KPK terakhir sebelum hari raya, Dian Sastrowardoyo mendatangi "Kartini Kendeng" di tenda perjuangan, Kamis (30/6/2016) pekan lalu. Sekitar dua jam, pemeran RA Kartini yang tengah dibuatkan filmnya ini berbincang dengan "Kartini Kendeng".
Pertemuan ini menjadi viral dan melegakan lantaran komentar Dian sebelumnya terkait "Kartini Kendeng" yang dipersoalkan. Meskipun tidak pernah berjanji mengadengakan pertemuan atau memberi dukungan, Dian datang berbincang-bincang dengan "Kartini Kendeng" soal apa yang mereka perjuangankan.
Cerita inspiratif macam "Kartini Kendeng" ini pasti banyak di kampung halaman dan layak Anda dengar untuk kemudian Anda ceritakan. Jika di kampung halaman Anda semua sudah mendengar, Jakarta tetap membutuhkan.
Dengan cerita inspiratif yang Anda dapat dari kampung halaman, mudah-mudahan mudik tahun depan ada cerita inspiratif yang bisa anda bawa dari Jakarta ke kampung halaman karena adanya perubahan.
Jangan sampai Jakarta dipenuhi cerita korupsi dan orang-orang yang memberi janji namun setelah sekian lama tidak juga ditepati. "Kartini Kendeng" pasti mencatat ini.
Oya, dalam Nawacita Presiden Jokowi disebutkan janji ikut mendorong pemberantasan mafia peradilan. Hingga 10 kasus operasi tangkap tangan KPK di mana 5 di antaranya melibatkan aparatur pengadilan, pemerintah belum terlihat mewujudkan janji.
Dian tidak mungkin mengambil peran ini.