"Maksudnya hanya sekadar lapor diri bagi WNI yang melakukan kunjungan ke luar negeri," katanya.
Lebih lanjut, Fadli menuturkan, mengirimkan uang untuk menggantikan yang dipakai Konsulat Jenderal RI di New York saat menjemput putrinya pada 12 Juni lalu. Biaya itu dikirim lewat Kementerian Luar Negeri.
"Untuk pengganti bensin selama 30-40 menit, saya perkirakan dana konsulat jenderal terpakai sekitar 100 dollar AS atau Rp 1,3 juta. Saya mengirim Rp 2 juta sekaligus untuk tip sopir," tuturnya.
Peneliti senior Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Syamsuddin Haris, menilai, masalah dasar dalam fenomena adanya permintaan fasilitas bagi keluarga atau rekan pejabat negara bukan pada penggantian biaya yang dihabiskan Kedutaan Besar untuk mengakomodasi permintaan pejabat terkait.
Namun, lanjut Syamsuddin, hal itu terkait mental dan etika pejabat negara dalam mengelola kewenangannya. Meski di beberapa kasus permintaan itu dibatalkan, setidaknya sudah terlihat niat atau upaya untuk memanfaatkan wewenang itu.
"Pejabat negara adalah pejabat publik yang mendapat mandat dari rakyat. Ini bukan sekadar masalah uang dan mengganti biaya kerugian, melainkan bagaimana menumbuhkan tanggung jawab dan etika di kalangan pejabat dalam mengelola kekuasaannya," kata Syamsuddin.
Masalah etika dan tanggung jawab sepertinya masih jadi persoalan utama sampai sekarang. (Agnes Theodora)
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.