JAKARTA, KOMPAS.com - Pegawai PT Artha Pratama Anugerah Doddy Arianto Supeno didakwa memberikan uang sebesar Rp 150 juta kepada panitera Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Edy Nasution.
Suap tersebut terkait penanganan perkara yang melibatkan beberapa perusahaan di bawah Lippo Group.
"Pemberian dengan maksud supaya pegawai negeri atau penyelenggara negara tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya," ujar Jaksa Penuntut Umum dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Fitroh Rohcayanto, di Pengadilan Tipikor Jakarta, Rabu (29/6/2016).
Menurut Jaksa, pemberian uang itu agar Edy Nasution menunda proses pelaksanaan "aanmaning" atau peringatan eksekusi terhadap PT Metropolitan Tirta Perdana (MTP), dan menerima pendaftaran peninjauan kembali PT Across Asia Limited (AAL). Padahal, waktu pengajuan PK tersebut telah melewati batas yang ditetapkan undang-undang.
Dalam surat dakwaan, Doddy didakwa melakukan penyuapan secara bersama-sama dengan pegawai (bagian legal) PT Artha Pratama Anugerah Wresti Kristian Hesti, Presiden Direktur PT Paramount Enterprise Ervan Adi Nugroho, dan Presiden Komisaris Lippo Group Eddy Sindoro.
Awalnya, Lippo Group menghadapi beberapa perkara hukum sehingga Eddy Sindoro menugaskan Hesti untuk melakukan pendekatan dengan pihak-pihak lain yang terkait dengan perkara.
Eddy Sindoro juga menugaskan Doddy untuk melakukan penyerahan dokumen maupun uang kepada pihak-pihak lain yang terkait perkara.
1. Terkait penundaan aanmaning perkara niaga antara PT MTP melawan PT Kwang Yang Motor (PT Kymco).
Berdasarkan putusan Pengadilan Arbitrase di Singapura, PT MTP dinyatakan wanprestrasi dan diwajibkan membayar ganti rugi kepada PT Kymco sebesar 11.100.000 dollar AS.
Akan tetapi, PT MTP tidak juga melaksanakan kewajibannya sehingga PT Kymco mendaftarkan putusan itu di PN Jakpus, agar putusan arbitrase dapat dieksekusi di Indonesia.
Menindaklanjuti hal itu, PN Jakpus kemudian mengajukan aanmaning, atau pemanggilan terhadap PT MTP, pada 1 September 2015 dan 22 Desember 2015.
Mengetahui pemanggilan itu, Eddy Sindoro kemudian menugaskan Hesti untuk mengupayakan penundaan aanmaning.
Hesti kemudian bertemu Edy Nasution di Kantor PN Jakpus pada 14 Desember 2015, dan meminta dilakukan penundaan aanmaning.
"Edy Nasution setuju menunda aanmaning sampai Januari 2016, dengan imbalan sebesar Rp100 juta," ujar Fitroh.
Atas persetujuan Eddy Sindoro, Doddy kemudian menyerahkan uang Rp 100 juta kepada Edy Nasution.
Penyerahan uang dilakukan pada 18 Desember 2015, di Hotel Acacia, Jakarta Pusat.
2. Terkait pengajuan PK perkara niaga PT Across Asia Limited melawan PT First Media.
Berdasarkan putusan kasasi Mahkamah Agung pada 31 Juli 2013, PT AAL dinyatakan pailit. Putusan tersebut telah diberitahukan oleh PN Jakpus pada 7 Agustus 2015.
Hingga lebih dari 180 hari setelah putusan dibacakan, PT AAL tidak juga mengajukan upaya hukum PK ke MA.
Sesuai Pasal 295 ayat 2 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan, batas waktu pengajuan PK adalah 180 hari sejak putusan dibacakan.
Namun, untuk menjaga kredibilitas PT AAL yang juga sedang berperkara di Hongkong, Eddy Sindoro menugaskan Hesti agar mengupayakan pengajuan PK di MA.
Menindaklanjuti perintah tersebut, Hesti kembali menemui Edy Nasution di PN Jakpus, pada Februari 2016.
Dengan dijanjikan sejumlah uang, Edy akhirnya setuju untuk menerima pengajuan PK yang telah lewat batas waktunya.
Eddy Sindoro kemudian menyetujui pemberian uang tersebut, dan meminta Ervan Adi Nugroho untuk menyiapkan uang.
Selanjutnya, disepakati imbalan bagi Edy Nasution sebesar Rp 50 juta.
Penyerahan dilakukan oleh Doddy di Basement Hotel Acacia, Jakarta, pada 20 April 2016.
Setelah serah terima, Doddy dan Edy Nasution ditangkap petugas KPK.
Atas perbuatan tersebut, Doddy didakwa melanggar Pasal 5 ayat 1 huruf a atau Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana diubah dalam UU Nomor 20 Tahun 2001 jo Pasal 65 ayat 1 jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.