Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pemimpin Pemarah

Kompas.com - 28/06/2016, 05:35 WIB

Oleh: HERRY TJAHJONO

Secara umum label kemarahan pada seorang pemimpin lebih dikonotasikan secara negatif daripada positif. Sebagai contoh kasus adalah Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok, yang lebih sering dilabel sebagai pemimpin pemarah yang negatif.

Seorang konglomerat Indonesia yang hebat pernah berkata kepada saya: pemimpin yang baik adalah pemimpin yang bisa marah, lewat sebuah kemarahan yang "pada tempatnya".

Dalam praksis manajemen dan kepemimpinan, kemarahan sesungguhnya sebuah kompetensi yang sangat diperlukan oleh seorang pemimpin. Memang ada yang mengatakan, ketegasan lebih diperlukan, bukan kemarahan.

Soal ini sesungguhnya lebih terkait dengan cara atau ekspresi kemarahan. Namun, secara esensial, seorang pemimpin perlu memiliki "kompetensi kemarahan" yang memadai.

Mendobrak "status quo"

Terkait konteks tulisan ini, saya ingin mencuplik tulisan Profesor Sarlito Wirawan Sarwono (30 Maret 2014) yang mengungkapkan tentang "kemarahan Ahok".

Apa yang salah dengan (kemarahan) Ahok? Dia memang pemarah, tetapi yang dimarahi adalah masyarakat yang mengancam petugas dengan golok.

Yang dimarahi, bahkan dipecat, adalah kepala dinas yang terbukti korupsi dan mbalelo sehingga merugikan rakyat.

Bahkan hasil analisisnya terhadap kemarahan Ahok bermuara pada kesimpulan tegas bahwa Gubernur itu marah hanya pada dua kondisi: 1) terjadi korupsi, 2) terjadi ketidakadilan.

Sementara Malcolm X pernah mengatakan, "Namun, ketika mereka marah, mereka tengah membuat perubahan".

Dari beberapa uraian di atas, bisa ditarik kesimpulan bahwa salah satu tugas terpenting pemimpin adalah membuat perubahan, dan perubahan itu adalah mendobrak status quo.

Dan, untuk konteks kepemimpinan nasional, status quo tersebut setidaknya ada dua hal: korupsi dan ketidakadilan.

Itu sebabnya jika muncul pemimpin yang suka marah terhadap status quo tersebut, para pembela status quo akan balik "marah-marah" kepada pemimpin itu meski jenis kemarahannya tentu berbeda.

Jadi, kompetensi kemarahan itu perlu dimiliki seorang pemimpin, baik dalam kondisi organisasi normal maupun terlebih lagi kondisi status quo ekstrem seperti kita.

Secara kontekstual bisa ditegaskan bahwa kepemimpinan nasional kita adalah kepemimpinan status quo. Kepemimpinan nasional kita adalah kepemimpinan yang tak memiliki "kompetensi kemarahan" memadai untuk mendobrak status quo tersebut.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Polemik Kenaikan UKT Terus Jadi Sorotan, Fahira Idris: Pendidikan Tinggi Seharusnya Inklusif

Polemik Kenaikan UKT Terus Jadi Sorotan, Fahira Idris: Pendidikan Tinggi Seharusnya Inklusif

Nasional
Menteri ESDM Soal Revisi PP Minerba: Semua K/L Sudah Siap, Tinggal dari Istana

Menteri ESDM Soal Revisi PP Minerba: Semua K/L Sudah Siap, Tinggal dari Istana

Nasional
RUU Kementerian Negara Disetujui Jadi Usul Inisiatif DPR, Bakal Segera Dikirim Ke Presiden

RUU Kementerian Negara Disetujui Jadi Usul Inisiatif DPR, Bakal Segera Dikirim Ke Presiden

Nasional
Menolak Diusung pada Pilkada DKI dan Jabar, Dede Yusuf: Bukan Opsi yang Menguntungkan

Menolak Diusung pada Pilkada DKI dan Jabar, Dede Yusuf: Bukan Opsi yang Menguntungkan

Nasional
DPR Bakal Panggil Mendikbud Nadiem Buntut Biaya UKT Mahasiswa Meroket sampai 500 Persen

DPR Bakal Panggil Mendikbud Nadiem Buntut Biaya UKT Mahasiswa Meroket sampai 500 Persen

Nasional
Pasal dalam UU Kementerian Negara yang Direvisi: Jumlah Menteri hingga Pengertian Wakil Menteri

Pasal dalam UU Kementerian Negara yang Direvisi: Jumlah Menteri hingga Pengertian Wakil Menteri

Nasional
Jokowi Disebut Tak Perlu Terlibat di Pemerintahan Mendatang, Beri Kedaulatan Penuh pada Presiden Terpilih

Jokowi Disebut Tak Perlu Terlibat di Pemerintahan Mendatang, Beri Kedaulatan Penuh pada Presiden Terpilih

Nasional
Kekayaan Miliaran Rupiah Indira Chunda, Anak SYL yang Biaya Kecantikannya Ditanggung Negara

Kekayaan Miliaran Rupiah Indira Chunda, Anak SYL yang Biaya Kecantikannya Ditanggung Negara

Nasional
LPSK dan Kemenkumham Bakal Sediakan Rutan Khusus 'Justice Collaborator'

LPSK dan Kemenkumham Bakal Sediakan Rutan Khusus "Justice Collaborator"

Nasional
Alasan Dirut Pertamina Karen Agustiawan Hadirkan JK sebagai Saksi Meringankan

Alasan Dirut Pertamina Karen Agustiawan Hadirkan JK sebagai Saksi Meringankan

Nasional
Dewas KPK Tolak Ahli yang Dihadirkan Nurul Ghufron karena Dinilai Tidak Relevan

Dewas KPK Tolak Ahli yang Dihadirkan Nurul Ghufron karena Dinilai Tidak Relevan

Nasional
Mengadu ke DPR gara-gara UKT Naik 500 Persen, Mahasiswa Unsoed: Bagaimana Kita Tidak Marah?

Mengadu ke DPR gara-gara UKT Naik 500 Persen, Mahasiswa Unsoed: Bagaimana Kita Tidak Marah?

Nasional
Soal Revisi UU MK, Hamdan Zoelva: Hakim Konstitusi Jadi Sangat Tergantung Lembaga Pengusulnya

Soal Revisi UU MK, Hamdan Zoelva: Hakim Konstitusi Jadi Sangat Tergantung Lembaga Pengusulnya

Nasional
Cecar Sekjen DPR, KPK Duga Ada Vendor Terima Keuntungan dari Perbuatan Melawan Hukum

Cecar Sekjen DPR, KPK Duga Ada Vendor Terima Keuntungan dari Perbuatan Melawan Hukum

Nasional
Nurul Ghufron Sebut Komunikasi dengan Eks Anak Buah SYL Tak Terkait Kasus Korupsi

Nurul Ghufron Sebut Komunikasi dengan Eks Anak Buah SYL Tak Terkait Kasus Korupsi

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com