Lelaki itu terbaring-terpejam. Kulit bibirnya mengelupas, parah. Ia bahkan tak lagi sanggup berkata-kata.
Seorang lelaki berkacata mata tebal, sebaya dengannya, datang menyambang. Ia Hatta. Karib lama. Pasangan Dwitunggalnya. Seketika mata Sukarno terbuka meski hanya nampak celahnya saja.
"Hatta..., kau di sini rupanya."
Mendengar ucapan lirih-perih itu, wajah Hatta pias. Anak-anak sungai di matanya mulai bermunculan.
"Ya, bagaimana kabarmu, No?" Jawabnya singkat dengan lidah tercekat.
"Hoe at het met jou: Bagaimana keadaanmu?" Suara Sukarno nyaris tak terdengar.
Pertanyaan dalam bahasa Belanda itu sontak menyeret Hatta pada nostalgia mereka semasa muda. Sejak jumpa kali pertama di Bandung yang bergelora.
Sejurus kemudian, Sukarno terisak. Bendungan airmata Hatta pun meledak. Itu adalah tangisan Sukarno yang keempat sejak ia ditahbis jadi Pemimpin Besar Revolusi.
Tangis pertamanya tumpah untuk Pancasila. Kedua, saat harus menandatangani surat hukuman mati Kartosuwiryo, sahabatnya sewaktu diasuh Cokroaminoto.
Ketiga, kala menyaksikan pusara jenderal yang ia sayangi, Achmad Yani--selepas dikembalikan ke haribaan bumi.
Sambil berderaian airmata, Hatta menggenggam tangan Sukarno yang ia cintai sehidup-semati. Dada mereka sesak. Bagai tertindih batu sebesar gunung.
Pengorbanan mereka yang sedemikian besar demi membebaskan bangsanya dari kungkungan angkara, hanya berbalas fitnah bertubi-tubi, caci maki tak terperi.
Hatta tak sanggup melihat airmata sahabatnya tumpah-ruah. Bahu mereka sama terguncang menahan sekian banyak kenangan. Ia pun berpamitan dengan segenap kemesraan.
Dua hari kemudian, Sukarno menuntaskan hidupnya yang begitu mengesankan jutaan insan. Seakan ia baru mau pulang, persis seperti dulu ia menunggu Hatta yang terkasih, sebelum membacakan Proklamasi.
Air mata cinta
Gunung Kelud pernah menandatangani kelahiran seorang manusia Indonesia pada Juni 1901. Di bulan yang sama, 92 juta rakyat Indonesia menandai kepulangannya dengan deraian airmata yang mencurah bak hujan menghapus kemarau.
Ahad yang bertitimangsa 21 Juni 1970 itu, adalah saat paling berduka bagi segenap anak bangsa Indonesia. Berita pedih itu menyebar bersama tiupan angin.
Putra Sang Fajar telah berpulang ke haribaan Allah, juga saat matahari menyingsing. Ia sungguh benar anak matahari dari timur.
Nun jauh di tepian Kota Kembang, seorang perempuan usia delapanpuluh dua, bangkit tergopoh menuju pusat Ibukota. Jasa besarnya mengantar sang suami ke pintu gerbang kemerdekaan, sanggup membelah rakyat yang berjubelan di kitaran Wisma Yaso.
Para petugas kepresidenan mengantar mantan Ibunegara ini menuju jenazah yang begitu ia rindukan sejak lama sebelum berpisah di Istana Merdeka. Sambil terisak pilu ia berkata, lirih.
"Ngkus, geuning Ngkus tehmiheulan, ku Inggit didoakeun: Ngkus... Kiranya Ngkus mendahului, Inggit doakan."