Politik uang menjadi isu yang selalu muncul dalam pemilihan kepala daerah. Praktik ini ditengarai terjadi sejak perekrutan bakal calon oleh partai politik hingga rekapitulasi suara oleh penyelenggara pilkada. Namun, selama ini, sangat sulit membuktikannya.
Hal ini, antara lain dapat dilihat dalam pilkada serentak 2015. Saat itu, Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) menerima 929 laporan atau pengaduan terkait politik uang.
Namun, hanya tiga perkara yang berlanjut sampai pengadilan dan akhirnya tidak ada yang dijatuhi sanksi.
Padahal, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pilkada sudah mengatur sanksi berat, yakni pembatalan pencalonan bagi kandidat yang terbukti melakukan politik uang.
Saking sulitnya dibuktikan, sampai-sampai muncul istilah bahwa politik uang itu seperti orang buang gas. Baunya bisa tercium oleh semua orang, tetapi bentuknya tidak terlihat.
Pada saat yang sama, praktik politik uang juga sudah sangat meresahkan. Saat Konvensi Nasional Indonesia Berkemajuan yang diselenggarakan Pimpinan Pusat Muhammadiyah di Yogyakarta, beberapa waktu lalu, mantan Gubernur Riau Abu Bakar menuturkan, demokrasi berjalan tak tentu arah karena dinodai politik uang. Hanya mereka yang punya uang yang bisa memimpin daerah.
Melalui UU Pilkada yang disahkan dalam Rapat Paripurna DPR, Kamis pekan lalu, DPR dan pemerintah terlihat mempermudah sanksi bagi pelaku politik uang.
Caranya, dengan memasukkan praktik tersebut sebagai pelanggaran administrasi hingga pemberian sanksinya tak perlu menunggu proses peradilan. Bawaslu bisa langsung memeriksa dan memutus sanksi bagi pelaku politik uang.
Sebelumnya, politik uang masuk kategori pelanggaran pidana. Akibatnya, sanksi baru bisa dijatuhkan setelah ada putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap, yang menyatakan bahwa politik uang itu benar terjadi.
Proses pengadilan ini biasanya belum selesai saat proses pilkada sudah selesai.
Bawaslu
Kini, dengan dimasukkannya politik uang sebagai pelanggaran administrasi, pertanyaan ada di integritas dan kemampuan Bawaslu.
Catatan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu sepanjang 2015 hingga awal Juni 2016, sebanyak 87 anggota Bawaslu di daerah dijatuhi sanksi dengan 21 di antaranya diberhentikan tetap.
Ketika integritas masih bisa goyah, tidak menutup kemungkinan, pemeriksaan hingga penjatuhan sanksi oleh Bawaslu akan bias oleh kepentingan politik.