Pasal 5 kode etik tersebut menyatakan: “Wartawan Indonesia tidak menyebutkan dan menyiarkan identitas korban kejahatan susila dan tidak menyebutkan identitas anak yang menjadi pelaku kejahatan”
Kata “identitas” yang dimaksud oleh pasal itu adalah semua data dan informasi yang menyangkut diri seseorang yang memudahkan orang lain untuk melacak.
Dengan demikian, identitas bukan hanya sekadar nama. Dalam hal kekerasan seksual, identitas harus dimaknai sebagai segala hal yang berkaitan dengan korban, seperti umur, ciri atau deskripsi fisik, alamat, dan sebagainya.
Bahkan, jika mau diperluas, segala keterangan tentang keluarga korban juga bisa dikategorikan sebagai identias korban.
Jika pemberitaan tentang identitas korban saja perlu dipertimbangkan, maka kekerasan dan kondisi korban pastilah haram untuk diekspos di dalam berita.
Itu dari sisi korban. Hal yang sama juga berlaku untuk pelaku kejahatan seksual, khususnya yang masih anak-anak. Kode Etik Jurnalistik menegaskan, mereka yang berusia kurang dari 16 tahun masuk kategori anak.
Pelaku di bawah umur harus mendapat perlakukan khusus dalam bentuk pengaburan identitas, sembari proses hukum tetap berjalan sebagaimana mestinya.
Ruang hampa
Menuding pers sebagai biang keladi teror kekerasan seksual memang tidak salah.
Namun, akan lebih baik jika Dewan Pers mempertimbangkan kenyataan keberadaannya di tengah-tengah arus informasi yang tidak terbendung. Pers kini tidak hidup di ruang hampa.
Perkembangan teknologi digital dan internet menjadi penyebab arus informasi yang “tak terkendali” itu. Seseorang bisa dengan mudah berbagi informasi digital melalui akun sosial media.
Bahkan, seseorang bisa dengan mudah “mendigitalkan” informasi analog, lalu menyebarkannya melalui internet. Informasi tak etis tentang kekerasan seksual adalah salah satunya.
Mengatur ratusan, bahkan ribuan, institusi pers bukanlah hal mudah. Dan yang pasti, itu tidak akan pernah selesai dengan membuat sebuah pedoman.
Oleh karena itu, Dewan Pers dan para aktivis seharusnya merancang sebuah paket komplit, yaitu pedoman bagi wartawan dan literasi bagi publik.
Publik saat ini bukan hanya menjadi konsumen. Peran publik sebagai produsen pesan menjadi semakin terlihat jelas di era new media.