“Aku berharap semua yang kawan FBku menghargai yang namanya pemenuhan hak korban dan etik. Siapapun yang share /upload foto korban, hasil otopsi lengkap, kronologi lengkap atau hal lain yang seharusnya TIDAK diunggah / dishare, akan ku-report,” demikian isi curahan hati M, seorang pengguna Facebook.
Hari itu, bisa jadi M sangat kesal dengan rekannya di media sosial yang mengunggah, atau bahkan mengunggah ulang, sejumlah materi yang berkaitan dengan peristiwa kekerasan seksual.
Dalam kalimat selanjutnya, dia menggunakan rentetan huruf kapital dan tanda seru untuk mengkritik mudahnya orang mengunggah gambar, tulisan, dan grafis yang melukiskan dampak atau proses sebuah kekerasan seksual.
M menuding nafsu publik untuk eksis adalah salah satu penyebab seseorang mengunggah materi ke media sosial, tanpa mempertimbangkan efek yang mungkin timbul.
Tak berselang lama dari curahan hati itu, Yosep Adi Prasetyo bertemu dengan sejumlah aktivis Komnas Perempuan di Jakarta Pusat. Ketua Dewan Pers itu menyimak hasil penelitian yang dilakukan oleh Komnas Perempuan tentang kecenderungan pemberitaan kasus kekerasan seksual.
Menurut Komnas Perempuan, seperti dilaporkan oleh Tempo.co, beberapa media yang diteliti masih menyebutkan identitas korban dan identitas pelaku di bawah umur.
Lalu, beberapa media cenderung mencampur fakta dan opini. Sedangkan yang lain berani untuk mengumbar informasi sadis dan cabul di dalam berita kekerasan seksual.
Ujung dari diskusi itu adalah sebuah kesamaan niat antara Dewan Pers dan Komnas Perempuan untuk membuat pedoman bagi jurnalis yang meliput atau membuat berita tentang kekerasan seksual.
Pers biang keladi
Sikap Dewan Pers dan Komnas Perempuan tidak salah. Niat mereka untuk menyusun pedoman bagi wartawan juga tidak berlebihan. Justru sebaliknya, niat itu harus didukung.
Pembenaran itu sekaligus menjadi sebuah pengakuan bahwa media, termasuk yang masuk kategori pers, justru menjadi biang keladi.
Sebagai biang keladi, pers ada kalanya menjadi pihak yang menimbulkan terjadinya suatu perbuatan jahat.
Berita tentang darah dan sensualitas yang bertemu dengan nafsu tampil di media sosial adalah kolaborasi yang mematikan. Pemberitaan sensasional sering diikuti dengan penyebaran berita itu di media sosial.
Oleh karena itu, tidaklah salah jika ada pedoman bagi wartawan yang meliput kekerasan seksual. Ini ibarat membasmi jamur dengan mancabut sampai ke akarnya.
Sebagai sebuah pedoman jurnalistik, haruslah gagasan Dewan Pers dan Komnas Perempuan itu merujuk Kode Etik Jurnalistik.
Pasal 5 kode etik tersebut menyatakan: “Wartawan Indonesia tidak menyebutkan dan menyiarkan identitas korban kejahatan susila dan tidak menyebutkan identitas anak yang menjadi pelaku kejahatan”
Kata “identitas” yang dimaksud oleh pasal itu adalah semua data dan informasi yang menyangkut diri seseorang yang memudahkan orang lain untuk melacak.
Dengan demikian, identitas bukan hanya sekadar nama. Dalam hal kekerasan seksual, identitas harus dimaknai sebagai segala hal yang berkaitan dengan korban, seperti umur, ciri atau deskripsi fisik, alamat, dan sebagainya.
Bahkan, jika mau diperluas, segala keterangan tentang keluarga korban juga bisa dikategorikan sebagai identias korban.
Jika pemberitaan tentang identitas korban saja perlu dipertimbangkan, maka kekerasan dan kondisi korban pastilah haram untuk diekspos di dalam berita.
Itu dari sisi korban. Hal yang sama juga berlaku untuk pelaku kejahatan seksual, khususnya yang masih anak-anak. Kode Etik Jurnalistik menegaskan, mereka yang berusia kurang dari 16 tahun masuk kategori anak.
Pelaku di bawah umur harus mendapat perlakukan khusus dalam bentuk pengaburan identitas, sembari proses hukum tetap berjalan sebagaimana mestinya.
Ruang hampa
Menuding pers sebagai biang keladi teror kekerasan seksual memang tidak salah.
Namun, akan lebih baik jika Dewan Pers mempertimbangkan kenyataan keberadaannya di tengah-tengah arus informasi yang tidak terbendung. Pers kini tidak hidup di ruang hampa.
Perkembangan teknologi digital dan internet menjadi penyebab arus informasi yang “tak terkendali” itu. Seseorang bisa dengan mudah berbagi informasi digital melalui akun sosial media.
Bahkan, seseorang bisa dengan mudah “mendigitalkan” informasi analog, lalu menyebarkannya melalui internet. Informasi tak etis tentang kekerasan seksual adalah salah satunya.
Mengatur ratusan, bahkan ribuan, institusi pers bukanlah hal mudah. Dan yang pasti, itu tidak akan pernah selesai dengan membuat sebuah pedoman.
Oleh karena itu, Dewan Pers dan para aktivis seharusnya merancang sebuah paket komplit, yaitu pedoman bagi wartawan dan literasi bagi publik.
Publik saat ini bukan hanya menjadi konsumen. Peran publik sebagai produsen pesan menjadi semakin terlihat jelas di era new media.
Dalam kasus tertentu, publik bahkan mengamplifikasi pesan buruk, termasuk suasana teror kekerasan seksual. Oleh karena itu, publik seharusnya juga menjadi target literasi oleh Dewan Pers.
Lembaga ini perlu membuat publik lebih sensitif terhadap pemberitaan yang melanggar etika. Dengan demikian, mereka akan bisa memilah informasi sebelum menyuarakannya melalui media sosial atau media yang lain.
Kemudian, publik juga perlu dilibatkan dalam proses pengaduan pelanggaran etika jurnalistik. Dalam hal ini, literasi prosedur pengaduan harus dijalankan.
Jika ini dilakukan, keberhasilan berlipat ganda akan dicapai, yaitu pers Indonesia menjadi lebih sehat karena bekerja berdasarkan pedoman etis, pers Indonesia menjadi lebih hati-hati karena publik ikut memantau langsung, dan publik menjadi sensitif dan tidak asal mengunggah informasi secara serampangan.
Dewan Pers memang dibentuk untuk mengatur pers yang jumlahnya ribuan. Tugas ini mulia, namun akan seperti membangun seribu candi selama semalam jika hanya dilakukan di dalam ruang hampa.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.