Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
F.X. Lilik Dwi Mardjianto
Ketua Program Studi Jurnalistik Universitas Multimedia Nusantara

pengagum jurnalisme | penikmat sastra | pecandu tawa riang keluarga

Publik dan Amplifikasi Teror Kekerasan Seksual

Kompas.com - 07/06/2016, 10:39 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
EditorAmir Sodikin

“Aku berharap semua yang kawan FBku menghargai yang namanya pemenuhan hak korban dan etik. Siapapun yang share /upload foto korban, hasil otopsi lengkap, kronologi lengkap atau hal lain yang seharusnya TIDAK diunggah / dishare, akan ku-report,”  demikian isi curahan hati M, seorang pengguna Facebook.

Hari itu, bisa jadi M sangat kesal dengan rekannya di media sosial yang mengunggah, atau bahkan mengunggah ulang, sejumlah materi yang berkaitan dengan peristiwa kekerasan seksual.

Dalam kalimat selanjutnya, dia menggunakan rentetan huruf kapital dan tanda seru untuk mengkritik mudahnya orang mengunggah gambar, tulisan, dan grafis yang melukiskan dampak atau proses sebuah kekerasan seksual.

M menuding nafsu publik untuk eksis adalah salah satu penyebab seseorang mengunggah materi ke media sosial, tanpa mempertimbangkan efek yang mungkin timbul.

Tak berselang lama dari curahan hati itu, Yosep Adi Prasetyo bertemu dengan sejumlah aktivis Komnas Perempuan di Jakarta Pusat. Ketua Dewan Pers itu menyimak hasil penelitian yang dilakukan oleh Komnas Perempuan tentang kecenderungan pemberitaan kasus kekerasan seksual.

Menurut Komnas Perempuan, seperti dilaporkan oleh Tempo.co, beberapa media yang diteliti masih menyebutkan identitas korban dan identitas pelaku di bawah umur.

Lalu, beberapa media cenderung mencampur fakta dan opini. Sedangkan yang lain berani untuk mengumbar informasi sadis dan cabul di dalam berita kekerasan seksual.

Ujung dari diskusi itu adalah sebuah kesamaan niat antara Dewan Pers dan Komnas Perempuan untuk membuat pedoman bagi jurnalis yang meliput atau membuat berita tentang kekerasan seksual.

Pers biang keladi

Sikap Dewan Pers dan Komnas Perempuan tidak salah. Niat mereka untuk menyusun pedoman bagi wartawan juga tidak berlebihan. Justru sebaliknya, niat itu harus didukung.

Pembenaran itu sekaligus menjadi sebuah pengakuan bahwa media, termasuk yang masuk kategori pers, justru menjadi biang keladi.

Sebagai biang keladi, pers ada kalanya menjadi pihak yang menimbulkan terjadinya suatu perbuatan jahat.

Berita tentang darah dan sensualitas yang bertemu dengan nafsu tampil di media sosial adalah kolaborasi yang mematikan. Pemberitaan sensasional sering diikuti dengan penyebaran berita itu di media sosial.

Oleh karena itu, tidaklah salah jika ada pedoman bagi wartawan yang meliput kekerasan seksual. Ini ibarat membasmi jamur dengan mancabut sampai ke akarnya.

Sebagai sebuah pedoman jurnalistik, haruslah gagasan Dewan Pers dan Komnas Perempuan itu merujuk Kode Etik Jurnalistik.

Halaman Berikutnya
Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com