Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Simposium 1965 dan Anti-PKI, Jalan Berliku Menuju Rekonsiliasi

Kompas.com - 04/06/2016, 22:26 WIB
Kristian Erdianto

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com - Inisiatif Pemerintah dalam menyelesaikan kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM) masa lalu tahun 1965 melalui Simposium Nasional Membedah Tragedi 1965 di Jakarta, pada Senin hingga Selasa (18-19/4/2016), tampaknya mendapat pertentangan dari sejumlah elemen masyarakat.

Sejumlah purnawirawan TNI dan organisasi masyarakat yang merasa tidak puas dengan simposium nasional 1965 tersebut membuat simposium tandingan bertajuk "Mengamankan Pancasila dari Ancaman Kebangkitan Partai Komunis Indonesia dan Ideologi Lain" yang digelar pada Rabu dan Kamis, 1-2 Juni 2016, di Balai Kartini, Jakarta.

Ketua Pelaksana Simposium, Letjen TNI (Purn) Kiki Syahnakri, mengatakan bahwa acara tersebut diselenggarakan oleh lebih dari 70 organisasi masyarakat (ormas).

Ormas itu di antaranya adalah Gerakan Bela Negara, Organisasi Purnawirawan TNI-Polri, ormas-ormas berlandaskan Pancasila, dan berbagai ormas Islam.

Kiki mengatakan, terdapat lima tujuan yang ingin dicapai dari penyelenggaraan simposium.

(Baca juga: Menyatakan Penyesalan kepada Korban Peristiwa 1965 Dinilai Hanya Timbulkan Polemik Baru)

Pertama, mempersatukan semua komponen bangsa untuk menghadapi ancaman hegemoni global yang anti-Pancasila.

Kedua, mencegah berbagai upaya untuk membangkitkan kembali Partai Komunis Indonesia (PKI).

"Kebangkitan PKI bukan hanya wacana. Ditandai peredaran buku komunisme, atribut PKI, Festival Belok Kiri, kemudian simposium yang berisi LSM kiri," ucap Kiki saat konferensi pers di Gedung Dewan Dakwah Indonesia, Jakarta, Senin (30/5/2016).

Ketiga, menurut Kiki, membangun kesadaran bangsa bahwa PKI telah berkali-kali melakukan pemberontakan terhadap Indonesia sejak tahun 1948 hingga 1965.

"Kemudian, pemutarbalikan fakta, rekayasa pembunuhan yang dilakukan TNI dan ormas Islam. Ini pemutarbalikan fakta," tutur Kiki.

Keempat, menegaskan bahwa ideologi yang bertentangan dengan Pancasila tidak dapat hidup di Indonesia.

Ideologi itu baik dalam bentuk partai politik, ormas, maupun lembaga swadaya masyarakat (LSM).

Kelima, rekomendasi menyeluruh dan adil bagi pemerintah untuk menghadapi musuh Pancasila.

"Ini berangkat dari keprihatinan atas minimnya Pancasila, paham komunisme justru marak. Makanya, kami buat simposium," kata Kiki.

Isu kebangkitan Partai Komunis Indonesia dan desakan bernada kecaman terhadap Pemerintah agar tidak meminta maaf atas tragedi kemanusiaan 1965 pun tiba-tiba muncul pasca simposium nasional 1965 dan menjelang simposium tandingan.

Mayor Jenderal (Purn) TNI Kivlan Zen menyebut bahwa Partai Komunis Indonesia (PKI) sesungguhnya telah bangkit sejak 2010.

Namun, kata Kivlan, kemunculannya bergantung pada Presiden Joko Widodo. Isu kebangkitan PKI belakangan santer terdengar bersamaan dengan maraknya kemunculan atribut-atribut berbau komunis.

"Tergantung Jokowi. Kalau minta maaf 17 Agustus nanti, ya (PKI) muncul," ujar Kivlan saat ditemui di Balai Kartini, Jakarta, Kamis (2/6/2016).

"Makanya, Jokowi jangan minta maaf. Kalau minta maaf, ya kita nyatakan dia bukan presiden. Kita tumbangkan. Berarti kita perang sama Jokowi," sambung dia.

Hal yang sama juga dikatakan oleh pimpinan Front Pembela Islam (FPI) Rizieq Syihab. Ia menuntut Pemerintah agar tidak meminta maaf kepada para keturunan anggota PKI.

Menurutnya, PKI-lah yang seharusnya meminta maaf kepada negara Indonesia karena telah melakukan pengkhianatan dan pembantaian massal.

"Kami minta ketegasan sikap pemerintah. Satu hal yang paling penting lagi, kami menuntut kepada Pemerintah tidak boleh negara ini meminta maaf pada PKI. Karena PKI yang salah, melakukan pengkhianatan dan pembantaian. Justru seharusnya PKI yang minta maaf kepada negara ini," ujar dia.

Pemerintah tak akan minta maaf

Sejak awal inisiatif penyelesaian kasus 1965 itu muncul, Pemerintah sudah menegaskan akan menyatakan penyesalannya.

Pernyataan penyesalan itu dipilih untuk mengganti permintaan maaf pemerintah terhadap keluarga korban pelanggaran HAM.

Pada Selasa (5/1/2016) Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Luhut Binsar Pandjaitan pernah mengatakan bahwa Pemerintah akan segera memroses kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu, tetapi tidak dalam konteks meminta maaf.

Pendekatan yang dilakukan Pemerintah, kata Luhut, adalah pendekatan non-yudisial. Pernyataan tersebut kembali disampaikan Luhut saat memberikan sambutan pada pembukaan Simposium Nasional "Membedah Tragedi 1965" di Hotel Aryaduta, Jakarta Pusat, Senin (18/4/2016).

Luhut menegaskan, tidak ada rencana pemerintah untuk meminta maaf terkait kasus peristiwa kekerasan 1965.

"Kami tidak sebodoh itu. Jangan ada pikiran pemerintah akan minta maaf ke sana atau ke sini. Kami tahu apa yang kami lakukan yang terbaik untuk bangsa ini," ujar Luhut.

Ia menuturkan, pemerintah telah melalui proses yang tidak mudah. Beberapa pertemuan telah digelar untuk mendapatkan ide simposium nasional tersebut.

(Baca juga: Meski Muncul Pertentangan, Pemerintah Tetap Akan Tuntaskan Kasus 1965)

Menurutnya, pemerintah memiliki niat yang serius dalam menuntaskan kasus pelanggaran HAM, khususnya peristiwa 1965.

"Proses ke sini tidak mudah. Beberapa kali kami menggelar pertemuan untuk melaksanakan simposium. Latar keinginan pemerintah, masalah HAM harus dituntaskan," kata Luhut.

Ia pun berharap, melalui simposium nasional, pihak-pihak yang bertikai dalam peristiwa 1965 bisa berdamai.

Luhut menginginkan ada pengungkapan fakta yang terjadi saat itu melalui pendekatan sejarah.

"Mari berdamai dengan masa lalu kita. Katakan benar kalau itu benar, salah kalau itu salah. Saya yakin dalam diskusi ini pasti ada pro dan kontra. Spirit kita menyelesaikan masalah. Jangan berburuk sangka. Kita jangan menubrukkan satu kelompok dengan kelompok lain," tutur dia.

Sementara itu, Ketua Panitia Pengarah Simposium Nasional Membedah Tragedi 1965 Letjen (Purn) Agus Widjojo mengatakan bahwa tujuan utama penyelenggaraan simposium itu bukan untuk mencari siapa yang benar dan yang salah terkait Tragedi 1965.

Agus mengatakan, simposium tersebut akan menggunakan pendekatan sejarah dalam mengungkapkan kebenaran untuk mencari apa yang salah dalam sistem nasional ketika peristiwa kekerasan 1965 terjadi dan dalam rangka menarik pelajaran agar tidak terulang peristiwa serupa pada masa depan.

"Kami tidak mencari siapa yang salah. Makanya, kami memakai pendekatan sejarah. Mencari proses sebab akibat," ujar Agus saat memberikan keterangan terkait Simposium Nasional "Membedah Tragedi 1965" di Hotel Aryaduta, Jakarta Pusat, Senin (18/4/2016).

Wakil Presiden Jusuf Kalla juga mengatakan sikap pemerintah terkait peristiwa 1965 sudah sangat jelas dan tidak berubah.

Menurutnya, Pemerintah tidak memiliki rencana untuk meminta maaf terkait peristiwa 1965

"Pemerintah tidak punya rencana untuk meminta maaf kepada siapa dan oleh siapa," ujar Kalla di Kantor Wakil Presiden, Jakarta, Rabu (20/4/2016).

Sebelumnya, wacana mengenai permintaan maaf Pemerintah terhadap keluarga eks Partai Komunis Indonesia (PKI) pun ditampik pihak Istana.

Pada Selasa (22/9/2015) Sekretaris Kabinet Pramono Anung mengungkapkan bahwa belum pernah ada pembahasan soal rencana permintaan maaf itu.

"Yang jelas persoalan permintaan maaf dan sebagainya itu tidak pernah dibicarakan dalam rapat-rapat di kabinet maupun ketika kami mendampingi," ujar Pramono di Istana Kepresidenan, Selasa (22/9/2015).

Pengaruh negatif

Ketua Setara Institute Hendardi menilai, propaganda yang muncul belakangan ini tentang kebangkitan PKI justru akan memberi pengaruh negatif terhadap upaya pemerintah menyelesaikan Tragedi 1965.

Hendardi mengatakan, hal tersebut merupakan upaya yang dilakukan oleh pihak tertentu untuk mengadu domba masyarakat dan menghalangi niat negara melakukan rekonsiliasi, serta membenarkan seluruh pembatasan kebebasan sipil.

"Penyebaran stigma PKI terhadap beberapa kegiatan telah membangkitkan kebencian orang pada upaya-upaya persuasif, dialogis, dan solutif bagi pemenuhan hak-hak korban peristiwa 1965," ujar Hendardi melalui keterangan tertulisnya, Senin (9/5/2016).

Menurut dia, agak ganjil ketika TNI dan Polri merasa bahwa PKI akan bangkit, padahal mereka memiliki intelijen yang bisa memberikan informasi akurat perihal fenomena di balik berbagai pembatasan dan persekusi atas kebebasan berekspresi, berpendapat, dan berkumpul yang dalam tiga bulan terakhir terus terjadi.

Ia pun mengatakan, masyarakat umum meragukan adanya fonemena kebangkitan ideologi komunis di Indonesia.

"Kalangan awam pun sebenarnya ragu akan propaganda kebangkitan PKI mengingat konstruksi ketatanegaraan Indonesia yang semakin demokratis," kata Hendardi.

(Baca juga: FPI: Pemerintah Tak Perlu Minta Maaf, PKI Telah Berkhianat)

Di sisi lain, lanjut dia, PKI sebagai sebuah partai juga mustahil bisa berdiri di Indonesia. Sikap TNI dan Polri yang turut mereproduksi propaganda tersebut dinilainya hanya menunjukkan bahwa intelijen mereka tidak bekerja.

Atau bisa jadi, justru pihak TNI dituding sebagai bagian dari kelompok yang melakukan penolakan atas upaya masyarakat sipil mendorong pengungkapan kebenaran.

"Situasi ini jelas tidak produktif bagi praktik demokrasi dan pemajuan HAM. Apalagi komentar Menteri Pertahanan RI bukan malah menyejukkan tapi malah menyebarkan kebencian dan memperkuat segregasi sosial," ujar dia.

Lebih lanjut, Hendardi menegaskan bahwa korban dari propaganda itu bukan hanya korban 1965, tetapi kebebasan sipil warga.

Bahkan, mereka yang tidak membahas soal PKI pun dipersekusi dengan stigma yang sama.

Untuk itu, Presiden Jokowi diminta segera bersikap soal rencana menyusun skema penuntasan pelanggaran HAM berat masa lalu sehingga dinamika dan kohesi sosial tidak rusak akibat propaganda yang tidak berdasar.

Kompas TV Menteri Yasonna Bantah PKI Bakal Bangkit
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Terkini Lainnya

PKS: Pak Anies Sudah Jadi Tokoh Nasional, Kasih Kesempatan Beliau Mengantarkan Kader Kami Jadi Gubernur DKI

PKS: Pak Anies Sudah Jadi Tokoh Nasional, Kasih Kesempatan Beliau Mengantarkan Kader Kami Jadi Gubernur DKI

Nasional
Soal Bertemu Prabowo, Sekjen PKS: Tunggu Saja, Nanti juga Kebagian

Soal Bertemu Prabowo, Sekjen PKS: Tunggu Saja, Nanti juga Kebagian

Nasional
Prabowo Absen dalam Acara Halalbihalal PKS

Prabowo Absen dalam Acara Halalbihalal PKS

Nasional
Projo: Jokowi Dukung Prabowo karena Ingin Penuhi Perjanjian Batu Tulis yang Tak Dibayar Megawati

Projo: Jokowi Dukung Prabowo karena Ingin Penuhi Perjanjian Batu Tulis yang Tak Dibayar Megawati

Nasional
Langkah Mahfud Membersamai Masyarakat Sipil

Langkah Mahfud Membersamai Masyarakat Sipil

Nasional
5 Smelter Terkait Kasus Korupsi Timah yang Disita Kejagung Akan Tetap Beroperasi

5 Smelter Terkait Kasus Korupsi Timah yang Disita Kejagung Akan Tetap Beroperasi

Nasional
Deretan Mobil Mewah yang Disita dalam Kasus Korupsi Timah, 7 di Antaranya Milik Harvey Moeis

Deretan Mobil Mewah yang Disita dalam Kasus Korupsi Timah, 7 di Antaranya Milik Harvey Moeis

Nasional
[POPULER NASIONAL] PKS Sebut Surya Paloh Main Cantik di Politik | Ganjar-Mahfud Dapat Tugas Baru dari Megawati

[POPULER NASIONAL] PKS Sebut Surya Paloh Main Cantik di Politik | Ganjar-Mahfud Dapat Tugas Baru dari Megawati

Nasional
Tanggal 29 April 2024 Memperingati Hari Apa?

Tanggal 29 April 2024 Memperingati Hari Apa?

Nasional
Kejagung: Kadis ESDM Babel Terbitkan RKAB yang Legalkan Penambangan Timah Ilegal

Kejagung: Kadis ESDM Babel Terbitkan RKAB yang Legalkan Penambangan Timah Ilegal

Nasional
Kejagung Tetapkan Kadis ESDM Babel dan 4 Orang Lainnya Tersangka Korupsi Timah

Kejagung Tetapkan Kadis ESDM Babel dan 4 Orang Lainnya Tersangka Korupsi Timah

Nasional
Masuk Bursa Gubernur DKI, Risma Mengaku Takut dan Tak Punya Uang

Masuk Bursa Gubernur DKI, Risma Mengaku Takut dan Tak Punya Uang

Nasional
Sambut PKB dalam Barisan Pendukung Prabowo-Gibran, PAN: Itu CLBK

Sambut PKB dalam Barisan Pendukung Prabowo-Gibran, PAN: Itu CLBK

Nasional
Dewas KPK Minta Keterangan SYL dalam Dugaan Pelanggaran Etik Nurul Ghufron

Dewas KPK Minta Keterangan SYL dalam Dugaan Pelanggaran Etik Nurul Ghufron

Nasional
Soal Jatah Menteri PSI, Sekjen: Kami Tahu Ukuran Baju, Tahu Kapasitas

Soal Jatah Menteri PSI, Sekjen: Kami Tahu Ukuran Baju, Tahu Kapasitas

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com