JAKARTA, KOMPAS.com - Kepala Biro Penerangan Masyarakat Polri Brigjen Pol Agus Rianto menganggap, norma yang berlaku di tempat tertentu belum bisa dikaitkan dengan pidana.
Jika norma adat tersebut tidak tercantum dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), maka tak ada hukum yang bisa mengaturnya.
"Jika ada hukum adat yang selama ini berlaku terjadi di beberapa daerah, mungkin dapat diakomodir. Tapi jika hanya satu daerah, mungkin sulit," ujar Agus saat dihubungi, Jumat (20/5/2015).
Agus mengatakan, hukum adat selama ini hanya diberlakukan kepada masyarakat yang tunduk pada adat di satu daerah tertentu. Cara penyelesaiannya pun sesuai dengan hukum adat yang sudah disepakati dalam komunitas itu.
Dengan kondisi itu, Agus memperkirakan hukum adat akan sulit diterapkan untuk kalangan yang lebih luas.
"KUHP-nya yang bingung nanti," kata Agus.
(Baca: Rancangan KUHP Memungkinkan Tindak Pidana Berbeda Tiap Kota)
Secara terpisah, Kepala Divisi Humas Polri Brigjen Pol Boy Rafli Amar menganggap ada perbedaan sistem hukum untuk norma tertentu di daerah dan hukum pidana.
Mekanisme hukum adat diatur oleh masyarakat yang memiliki adat istiadat tersebut. Sementara hukum pidana merupakan hukum positif negara.
Hal ini berbeda jika pelaku melakukan suatu tindak pidana yang di dalamnya ada unsur pelanggaran norma adat. Menurut Boy, hakim yang berwenang menentukan hukuman apa yang akan dijatuhkan.
"Masalah kearifan lokal itu masuk pada pertimbangan dan keyakinan hakim," kata Boy.
Direktur Eksekutif Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia Fakultas Hukum Universitas Indonesia Choky Risda Ramadhan sebelumnya mengatakan, norma-norma yang diatur dalam adat istiadat suatu daerah bisa masuk dalam tindak pidana. Hal itu dapat dilihat dari aspek legalitas dalam buku I rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
"RKUHP yang sekarang di prinsipnya itu bisa memungkinkan seseorang dipidana apabila tindakannya tak sesuai dengan adat istiadat, norma kesusilaan, kesopanan setempat," kata Choky.
Menurut Choky, aspek legalitas tindak pidana menjadi tak memiliki standar baku. Hukum tidak tertulis di suatu kota juga dapat menjadi acuan.
Choky mengatakan, alasan tim perumus membedakan tindak pidana di tiap kota karena melihat banyaknya hukum yang hidup di masyarakat belum diatur di hukum pidana KUHP.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.