Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Masinton Nilai Gelar Pahlawan untuk Soeharto Terganjal Tap MPR

Kompas.com - 20/05/2016, 08:50 WIB
Kristian Erdianto

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com - Politisi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) Masinton Pasaribu menyatakan tidak setuju jika presiden kedua RI, Soeharto, diberi gelar pahlawan nasional oleh Pemerintah.

Menurut Masinton, Soeharto tidak layak disebut sebagai pahlawan karena meski pernah memimpin Indonesia selama 32 tahun dan diberi gelar sebagai Bapak Pembangunan.

Sebab, Masinton menilai Soeharto masih memiliki persoalan hukum terkait korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) yang harus diadili.

"Bagaimana memberikan gelar pahlawan sementara Soeharto sendiri bermasalah secara hukum," ujar Masinton saat dihubungi, Kamis (19/5/2016).

Masinton menjelaskan, Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) telah menetapkan Tap MPR Nomor XI/MPR/1998 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme.

Melalui TAP tersebut, MPR mengamanatkan bahwa dalam melaksanakan fungsi dan tugasnya, para penyelenggara negara harus jujur, adil, terbuka dan dapat dipercaya serta mampu membebaskan diri dari praktek KKN.

Selain itu, diamanatkan pula bahwa upaya pemberantasan tindak pidana korupsi dilakukan secara tegas dengan melaksanakan secara konsisten undang-undang tindak pidana korupsi.

Dalam hubungan ini, upaya pemberantasan KKN harus dilakukan secara tegas terhadap siapapun, baik pejabat negara, mantan pejabat negara, keluarga dan kroninya, termasuk Soeharto.

"Dalam Tap MPR Nomor XI/1998 sangat jelas dan tegas disebut nama individu Soeharto bermasalah secara hukum," ucap Masinton.

"Sudah jelas Soeharto memiliki masalah hukum perihal KKN. Ke depannya malah mengaburkan hakekat kepahlawanan," kata anggota Komisi III DPR RI itu.

Nama Soeharto memang ada dalam Pasal 4 Tap MPR Nomor XI/1998. Dalam pasal itu ditulis:

"Upaya pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme harus dilakukan secara tegas terhadap siapapun juga, baik pejabat negara, mantan pejabat negara, keluaga, dan kroninya maupun pihak-swasta/konglomerat termasuk mantan Presiden Soeharto dengan tetap memperhatikan prinsip praduga tak bersalah dan hak asasi manusia."

Warisan Orde Baru

Selain itu, Masinton mengingatkan, sosok individu yang berhak mendapatkan gelar pahlawan dari negara adalah orang yang semasa hidupnya mendedikasikan diri untuk kepentingan bangsa dan negara.

Ia juga mengatakan, munculnya wacana pemberian gelar pahlawan nasional kepada Soeharto dalam musyawarah nasional luar biasa beberapa waktu lalu, mempertegas partai tersebut memang warisan rezim Orde Baru.

"Hal itu menunjukkan Partai Golkar sebagai partai politik yang mewarisi golongan politik Orde Baru," ujarnya.

Sebelumnya, Musyawarah Nasional Luar Biasa Partai Golongan Karya mengusulkan agar Presiden kedua RI Soeharto menjadi pahlawan nasional.

(Baca: Munaslub Golkar Usulkan Soeharto Jadi Pahlawan Nasional)

"Partai Golkar pernah mengusulkan Soeharto jadi pahlawan nasional. Belum berhasil. Kali ini, Munas mengusulkan kembali ke DPP agar Soeharto untuk menjadi Pahlawan Nasional," kata Aburizal Bakrie, saat masih menjabat ketua umum Partai Golkar, akhir pekan lalu.

Kompas TV Pro Kontra Gelar Pahlawan Nasional Kepada Soeharto
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Terkini Lainnya

Tanggal 29 April 2024 Memperingati Hari Apa?

Tanggal 29 April 2024 Memperingati Hari Apa?

Nasional
Kejagung: Kadis ESDM Babel Terbitkan RKAB yang Legalkan Penambangan Timah Ilegal

Kejagung: Kadis ESDM Babel Terbitkan RKAB yang Legalkan Penambangan Timah Ilegal

Nasional
Kejagung Tetapkan Kadis ESDM Babel dan 4 Orang Lainnya Tersangka Korupsi Timah

Kejagung Tetapkan Kadis ESDM Babel dan 4 Orang Lainnya Tersangka Korupsi Timah

Nasional
Masuk Bursa Gubernur DKI, Risma Mengaku Takut dan Tak Punya Uang

Masuk Bursa Gubernur DKI, Risma Mengaku Takut dan Tak Punya Uang

Nasional
Sambut PKB dalam Barisan Pendukung Prabowo-Gibran, PAN: Itu CLBK

Sambut PKB dalam Barisan Pendukung Prabowo-Gibran, PAN: Itu CLBK

Nasional
Dewas KPK Minta Keterangan SYL dalam Dugaan Pelanggaran Etik Nurul Ghufron

Dewas KPK Minta Keterangan SYL dalam Dugaan Pelanggaran Etik Nurul Ghufron

Nasional
Soal Jatah Menteri PSI, Sekjen: Kami Tahu Ukuran Baju, Tahu Kapasitas

Soal Jatah Menteri PSI, Sekjen: Kami Tahu Ukuran Baju, Tahu Kapasitas

Nasional
Cinta Bumi, PIS Sukses Tekan Emisi 25.445 Ton Setara CO2

Cinta Bumi, PIS Sukses Tekan Emisi 25.445 Ton Setara CO2

Nasional
Menpan-RB Anas Bertemu Wapres Ma’ruf Amin Bahas Penguatan Kelembagaan KNEKS

Menpan-RB Anas Bertemu Wapres Ma’ruf Amin Bahas Penguatan Kelembagaan KNEKS

Nasional
Banyak Caleg Muda Terpilih di DPR Terindikasi Dinasti Politik, Pengamat: Kaderisasi Partai Cuma Kamuflase

Banyak Caleg Muda Terpilih di DPR Terindikasi Dinasti Politik, Pengamat: Kaderisasi Partai Cuma Kamuflase

Nasional
PKB Sebut Pertemuan Cak Imin dan Prabowo Tak Bahas Bagi-bagi Kursi Menteri

PKB Sebut Pertemuan Cak Imin dan Prabowo Tak Bahas Bagi-bagi Kursi Menteri

Nasional
Fokus Pilkada, PKB Belum Pikirkan 'Nasib' Cak Imin ke Depan

Fokus Pilkada, PKB Belum Pikirkan "Nasib" Cak Imin ke Depan

Nasional
Kritik Dukungan Nasdem ke Prabowo, Pengamat: Kalau Setia pada Jargon “Perubahan” Harusnya Oposisi

Kritik Dukungan Nasdem ke Prabowo, Pengamat: Kalau Setia pada Jargon “Perubahan” Harusnya Oposisi

Nasional
Megawati Tekankan Syarat Kader PDI-P Maju Pilkada, Harus Disiplin, Jujur, dan Turun ke Rakyat

Megawati Tekankan Syarat Kader PDI-P Maju Pilkada, Harus Disiplin, Jujur, dan Turun ke Rakyat

Nasional
Langkah PDI-P Tak Lakukan Pertemuan Politik Usai Pemilu Dinilai Tepat

Langkah PDI-P Tak Lakukan Pertemuan Politik Usai Pemilu Dinilai Tepat

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com