JAKARTA, KOMPAS.com - Ketua Panitia Pengarah Simposium Nasional Tragedi 1965 Agus Widjojo mengatakan, munculnya perbedaan pendapat di tubuh Pemerintah terkait upaya menyelesaikan masalah Peristiwa 1965 adalah hal yang wajar.
Agus menilai, perbedaan pendapat tersebut akibat kurangnya komunikasi antara Presiden Joko Widodo dan para menterinya dalam mencari bentuk penyelesaian kasus yang paling tepat.
"Perbedaan pendapat itu biasa dalam demokrasi. Ini masalah komunikasi. Kami kurang berkomunikasi. Semuanya itu wajar dalam tatanan demokrasi," ujar Agus saat ditemui di gedung Lemhanas, Jakarta, Rabu (18/5/2016).
Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional itu mengatakan bahwa tidak ada cara yang dianggap mutlak dalam menyelesaikan kasus Peristiwa 1965.
Menurut dia, upaya penyelesaian yang coba dirintis oleh Pemerintah melalui Simposium Nasional pasti akan menimbulkan pro dan kontra. Ada pihak-pihak yang tidak sepakat dalam tubuh Pemerintah akibat kurangnya komunikasi.
"Tidak ada yang mutlak. Kami tidak mengatakan ada satu cara yang paling benar. Ada juga bagian yang tidak sepakat akibat dari kurangnya komunikasi," kata Agus.
(baca: Tim Perumus Akan Serahkan Rekomendasi Simposium Nasional 1965 kepada Pemerintah)
Sementara itu, Agus enggan berkomentar ketika ditanya soal adanya pihak-pihak yang akan mengadakan simposium tandingan anti-PKI.
Sebelumnya, Menteri Pertahanan RI Ryamizard Ryacudu mengaku tak mendukung penyelenggaraan simposium-simposium terkait tragedi 1965.
(baca: Menhan Bantah Dukung Penyelenggaraan Simposium Lawan PKI)
Adapun simposium itu adalah Simposium Tragedi 1965 yang telah diselenggarakan beberapa waktu lalu maupun simposium melawan PKI sebagai tandingan, yang diwacanakan oleh para purnawirawan TNI.
"Enggak usah lagi-lagi. Simposium berpihak pada kiri, jelas. Ini (simposium tandingan) membalas. Balas-membalas tidak baik," ujar Ryamizard.
"Saya enggak suka itu. Saya ingin bangsa ini bersatu," kata dia.
Ryamizard pun membantah ada di balik terselenggaranya simposium tandingan. Penyelenggaraan simposium tandingan, menurut dia, justru hanya akan membangkitkan kembali permasalahan masa lalu. n.
(Baca: Luhut Nilai Pembongkaran Makam Korban Tragedi 1965 untuk Ungkap Sejarah)
"Kalau bangsa ini mau damai, mari sama-sama damaikan. Jangan memojokkan, berpihak. Sudah lah," kata dia.
Menhan juga tak menyetujui rencana pembongkaran kuburan massal korban peristiwa 1965. Ia mengkhawatirkan, jika dilakukan, hal tersebut justru menimbulkan konflik baru.
Sebaliknya, Presiden Joko Widodo memerintahkan Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan Luhut Binsar Pandjaitan untuk mencari lokasi kuburan massal korban peristiwa 1965.
Kuburan massal itu, kata Luhut, untuk pembuktian sekaligus meluruskan sejarah terkait isu pembantaian pengikut PKI setelah tahun 1965 silam.
(baca: Berbeda dengan Jokowi, Ryamizard Tolak Rencana Bongkar Kuburan Massal Tragedi 1965)
Purnawirawan TNI berencana menyelenggarakan simposium melawan PKI pada 1 dan 2 Juni 2016. Para pensiunan TNI ini menganggap Simposium Tragedi 1965 tidak mengakomodasi semua pihak, sehingga mereka memutuskan untuk membentuk simposium lain.
"Kalau mau meluruskan, harusnya sama-sama, objektif seluruhnya, terbuka seluruhnya," ujar Ketua DPP Gerakan Bela Mayjen TNI (purn) Budi Sujana di Balai Kartini, Jakarta Selatan, Jumat (13/5/2016).
"Kami minta tolong, kalau mau bikin (simposium rekonsiliasi) mari bikin yang sama-sama, panitia sama banyak, pembicara seimbang," kata dia.
Simposium tersebut rencananya akan dipimpin oleh mantan Wakil Kepala Staf Angkatan Darat Letjen (Purn) Kiki Syahnakri.