JAKARTA, KOMPAS.com - Sekretaris Mahkamah Agung (MA) Nurhadi bisa dikenai pasal pelanggaran pidana jika terbukti menyembunyikan saksi yang dibutuhkan keterangannya oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Nurhadi dapat dinilai menghalangi penyidikan KPK.
"Penyidik sedang merencanakan beberapa strategi termasuk untuk pemanggilan saksi dan apakah mungkin menerapkan pasal menghalangi penyidikan," ujar Pelaksana Harian Kepala Biro Humas KPK Yuyuk Andriati di Gedung KPK, Jakarta, Senin (16/5/2016).
Nurhadi diduga menyembunyikan salah satu stafnya, Royani, dari penyidik KPK. Hal itu diduga dilakukan karena keterangan Royani dinilai cukup penting untuk mengetahui sejauh mana peran Nurhadi dalam perkara suap yang melibatkan panitera Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
(Baca: Sekretaris MA Diduga Sembunyikan Saksi dari KPK)
Jika terbukti menyembunyikan saksi, maka Nurhadi dapat disangkakan Pasal 21 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Pasal tersebut secara tegas menyatakan bahwa setiap orang yang menghalangi penyidikan dapat dihukum penjara. Ancaman hukumannya paling singkat tiga tahun penjara dan maksimal 12 tahun penjara.
Sebelumnya, KPK menangkap tangan Panitera Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Edy Nasution dan seorang pekerja swasta bernama Doddy Ariyanto Supeno. Keduanya telah ditetapkan sebagai tersangka selaku pemberi dan penerima suap.
(Baca: KPK Sita Uang Rp 1,7 Miliar dalam Berbagai Pecahan Asing di Rumah Sekretaris MA)
Uang sebesar Rp 50 juta yang disita dalam operasi tangkap tangan tersebut diduga terkait pengajuan peninjauan kembali (PK), dua perusahaan swasta yang sedang berperkara di PN Jakarta Pusat.
Dalam kasus ini, KPK telah menyita uang sebesar Rp 1,7 miliar di kediaman milik Nurhadi di Jalan Hang Lekir, Kebayoran Baru, Jakarta.
Uang dalam jumlah tersebut ditemukan dalam berbagai pecahan mata uang asing. KPK menduga uang tersebut terkait dengan perkara hukum yang sedang ditelusuri.