JAKARTA, KOMPAS.com - Sekretaris Mahkamah Agung Nurhadi diduga menyembunyikan salah satu stafnya, Royani, dari penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Dugaan itu muncul karena keterangan Royani dinilai penting untuk mengetahui sejauh mana peran Nurhadi dalam dugaan suap yang melibatkan panitera Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
"Ketika kami memanggil dua kali dan saksi tidak hadir memberikan keterangan, maka kami menduga saksi disembunyikan," ujar Pelaksana Harian Kepala Biro Humas KPK Yuyuk Andriati di Gedung KPK, Jakarta, Senin (16/5/2016).
Sebelumnya, KPK telah dua kali melayangkan pemanggilan pemeriksaan terhadap Royani, yakni pada 29 April 2016 dan 2 Mei 2016.
Namun, Royani tidak memenuhi kedua panggilan tersebut tanpa keterangan.
Menurut Yuyuk, beberapa informasi menyebutkan bahwa Royani tidak lagi terlihat di MA dalam beberapa hari terakhir.
Meski demikian, ia diperkirakan masih berada di Indonesia.
Kasus ini bermula ketika KPK menangkap tangan Panitera Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Edy Nasution dan seorang pekerja swasta bernama Doddy Ariyanto Supeno.
Keduanya telah ditetapkan sebagai tersangka selaku pemberi dan penerima suap.
Uang sebesar Rp 50 juta yang disita dalam operasi tangkap tangan tersebut diduga terkait pengajuan peninjauan kembali (PK), dua perusahaan swasta yang sedang berperkara di PN Jakarta Pusat.
Dalam kasus ini, KPK telah menyita uang sebesar Rp1,7 miliar di kediaman milik Nurhadi di Jalan Hang Lekir, Kebayoran Baru, Jakarta.
Uang dalam jumlah tersebut ditemukan dalam berbagai pecahan mata uang asing.
KPK menduga uang tersebut terkait dengan perkara hukum yang sedang ditelusuri.