Dengan pola yang seperti itu, maka ada beberapa di antara pilot asing tersebut saat ini sudah berhasil mengikuti “Captaincy Training” (proses latihan peningkatan kualifikasi dari Co Pilot menjadi Captain Pilot) pada beberapa maskapai penerbangan swasta Indonesia. Inilah kemudian yang menjadi ironis sekali.Sekedar gambaran yang sederhana saja, saat ini sudah lebih dari 500 pilot anak Indonesia yang baru lulus dan belum mendapatkan pekerjaan, sementara ada sekitar lebih dari 564 pilot asing yang bekerja di Indonesia.
Pilot Idonesia menganggur
Sungguh menyedihkan. Pengangguran di negerinya sendiri. Lulusan sekolah pilot Curug di tahun 2016 ini sudah mencapai angka lebih kurang 100-an orang, kabarnya tidak lebih dari 10 orang saja yang sudah memperoleh pekerjaan.
Sekali lagi, ternyata memang belum terbangun satu sistem penyaluran dari para lulusan sekolah pilot di Indonesia dalam kerangka pemenuhan kebutuhan pilot di maskapai penerbangan.
Garuda sebagai maskapai pembawa bendera, sebenarnya berhasil dalam upaya membatasi kehadiran para pilot asing pada tahun 2011. Kita masih ingat ada gerakan pilot Indonesia yang mogok dan kemudian menyusun ulang aturan main internal Garuda dalam terkait kiprah para pilot asing di perusahaan itu.
Gejolak tersebut antara lain mengenai besaran gaji dan pembatasan pilot asing pada “rating” pesawat yang memang tidak ada orang Indonesianya dengan batas waktu yang hanya untuk 2 tahun saja.
Celakanya, ya itu tadi mereka tidak peduli dengan besaran gaji, karena target mereka adalah memperoleh jam terbang saja. Sebagai catatan, di banyak negara, ada batasan minimum jam terbang untuk pilot fresh graduate sebelum dapat aktif sebagai pilot operasional di sebuah maskapai penerbangan, apalagi yang sekelas dengan maskapai pembawa bendera atau The Flag Carrier Airlines seperti Garuda Indonesia.
Gerakan di Garuda tersebut harus dilihat semata berdasar kepada “rasa bangga” akan kemampuan anak bangsanya sendiri di negerinya sendiri. Rasa bangga dalam menjaga harkat dan martabat sebagai “saya orang Indonesia”.
Menjaga dan memelihara pride dan dignity sebagai pilot Indonesia untuk tidak tampil inferior bila berhadapan dengan orang asing.
Sampai saat ini belum ada regulasi yang mengatur tentang komposisi pilot asing di Indonesia. Salah satu maskapai yang cukup besar yang bergerak di banyak rute penerbangan perintis bahkan komposisi jumlah pilot asingnya sudah mencapai 90%.
Bagi sekolah pilot yang tumbuh subur, semakin banyak siswa yang masuk tentu akan semakin senang. Akan tetapi siapa yang mengurus penyalurannya setelah mereka lulus? Sampai kini belum jelas siapa yang harusnya bertanggung jawab.
Sementara pilot asing sudah ada agen-agen yang melayaninya, begitu mereka hengkang (selesai memperoleh jam terbang yang cukup), ke luar negeri maka penggantinya “junior pilot” sudah datang menjelang.
Garuda Indonesia, belakangan ini sudah terlihat sebagai “kebanyakan” pilot, sementara maskapai penerbangan lain sudah nyaman dengan jumlah pilot yang agak pas-pasan dan cenderung agak enggan pula menambah pilot yang hanya akan menambah cost belaka.
Di sisi lain, ada gejala setiap maskapai kini justru berlomba untuk memiliki sekolah pilotnya sendiri sendiri. Dengan demikian yang terjadi belakangan ini, dalam keadaan kekurangan pilot, ada banyak pilot muda yang baru lulus sekolah pilot yang menganggur.
Di sisi lain, ada banyak pilot asing bekerja di sini yang sebagian besar hanya mencari jam terbang belaka untuk nantinya berkarier di negara lain.