Untuk menyambung hidup, ia pun membuat kue, menitipkannya ke warung dan toko. Hasilnya tak seberapa.
Saat anak-anak lain di sekolah merayakan ulang tahun dengan makanan dari restoran cepat saji, adik saya membawakan tumpeng bikinan sendiri untuk berhemat. Namun dari situlah rejeki mengalir.
Orang-orang menanyakan di mana ia membeli tumpeng. Setelah dijawab buatan sendiri, pesanan pun berdatangan.
Kini setelah sekian tahun, ia memiliki usaha catering yang melayani pesta-pesta pernikahan, rapat-rapat besar dan berbagai pertemuan lain. Kakaknya yang menjadi manajer pun meminjam uang untuk renovasi rumah dari dia.
Bayangkan seandainya ketiga orang itu dahulu diterima bekerja sebagai pegawai atau buruh. Akankah mereka menikmati kehidupan seperti saat ini? Bekerja dekat dengan keluarga, mengatur waktu sendiri, tak harus memohon-mohon agar gaji naik.
Sementara banyak orang yang “berhasil” mendapat pekerjaan, namun hari-hari ini mengeluh karena perusahaan memang tidak adil dalam memberikan upah. Tenaga mereka diperas untuk memperkaya orang lain, dan mereka pun turun ke jalan untuk memperjuangkannya.
Saya tidak mengatakan menjadi buruh itu salah. Toh saya juga buruh media. Sejauh kita menikmati dan menyukai pekerjaan kita, tak ada yang keliru.
Namun bagi yang belum menemukan kepuasan, saya hanya ingin menyampaikan bahwa masih ada banyak jalan untuk mengubah nasib kita. Nasib tak melulu ditentukan pemberi kerja, saat kita harus berdemonstrasi untuk memperbaikinya.
Kita yang dahulu mengalahkan orang lain dalam seleksi penerimaan pegawai, mestinya memiliki nilai lebih dan kemampuan mengubah nasib. Bila Joko Pitik yang menganggap dirinya bodoh dan “gagal” diterima perusahaan bisa menjadi juragan, kita mestinya juga bisa kan?
Masalahnya, setelah menjadi pegawai, kita sering terlena dalam kenyamanan. Kita kurang terdesak sehingga tidak berusaha survive. Kita menjadi pasif dan menggantungkan nasib pada kemurahan pemberi kerja. Dan lebih utama lagi, kita takut gagal.
Itu perasaan yang wajar. Tak semua usaha mulus berjalan. Joko Pitik pernah menjadi pria yang hitam legam terbakar matahari di ladang sebelum memutuskan membuka toko.
Sepupu saya penjual roti sering pulang dengan keranjang roti masih penuh, tak ada yang laku. Adik saya sering bekerja hingga dini hari membuat pesanan. Intinya, semua perlu usaha.
Tapi begitulah mengubah nasib. Life begin at the end of your comfort zone. Tinggal keberanian kita meninggalkan kenyamanan sebagai pegawai atau buruh.
Meski terlambat, selamat Hari Buruh. Namun yang jelas tidak ada kata terlambat bila kita ingin mengubah nasib…
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.