Oleh: Iwan Santosa dari Zamboanga, Filipina
Sejak kapal tunda Brahma 12 dengan 10 anak buah kapal disandera kelompok Abu Sayyaf faksi Al Habsyi Mesaya di perairan antara Sabah dan Kepulauan Sulu, Kamis (24/3), Pemerintah Indonesia dan pihak perusahaan tak kenal lelah melakukan upaya pembebasan.
Sejak 25 Maret, sejumlah pihak dihubungi untuk memetakan masalah.
Pola kejahatan pun mulai terbaca. Toto Trihamtoro, konsultan keamanan yang memiliki banyak jaringan di Asia Tenggara, menceritakan, kapal-kapal yang dibajak itu biasanya diganti identitasnya lalu dijual.
Namun, dalam kasus tugboat Brahma, kapal tak sempat dijual saat dibawa ke Languyan di utara Pulau Tawi-Tawi.
Kapal itu hanya ditandai dengan nama "Al Habsyi Mesaya" di dalam kabin kapal yang sudah tujuh kali berlayar mengantarkan batubara dari Kalimantan Selatan ke Batangas, Visayas, Filipina tengah.
Pemantauan penjejak elektronik yang terpasang pada Brahma 12 menggambarkan kapal diserang sekitar pukul 13.00.
Selanjutnya, kecepatan kapal bertambah dari 5 knot menjadi 8-9 knot yang menandakan tongkang dan muatan sudah dilepas.
Pertemuan intensif pun digelar antara pemerintah (Kementerian Luar Negeri, sejumlah lembaga intelijen, terutama Badan Intelijen Strategis TNI) dan pihak perusahaan.
Komunikasi dengan penyandera pun dilakukan. Awalnya, komunikasi menggunakan telepon genggam Kapten Tonsen (nakhoda kapal Peter Tonsen).
Belakangan, pembajak menggunakan teleponnya. Dari situ, terlacak posisi telepon berada di sekitar Pulau Sulu atau Jolo di tengah-tengah gugusan Kepulauan Sulu yang membentang dari timur Sabah hingga pantai barat Mindanao di kota Zamboanga, Filipina selatan.
Wilayah tersebut didominasi dua etnis, yakni Tausug dan Samal. Tausug yang juga disebut "Orang Suluk", menurut sejarawan maritim Adrian B Lapian (alm), sudah merompak hingga perairan Selat Malaka dan pantai utara Pulau Jawa sejak 1800-an.
Ketika itu, pusat kekuatan perompak berada di Pulau Balaingingi di sebelah timur Pulau Sulu.
Dari pemetaan profil, Al Habsyi Mesaya diketahui menguasai wilayah Talipao yang berada di tengah-tengah Pulau Sulu hingga bagian timur Sulu yang tidak bertuan.
"Di Filipina selatan, terutama Sulu, banyak komandan lokal dengan pasukannya sendiri," kata Sumardi, warga Indonesia yang menjadi pengajar di Davao City.
Yang menarik, ada kebiasaan unik dalam faksi Abu Sayyaf, yakni melelang korban penculikan ke sindikat lain. Namun, dalam kasus ABK Brahma 12, mereka tidak mendapat tawaran dari kelompok lain.
Pasalnya, ABK Brahma 12 adalah WNI yang bagi para penguasa lokal di Kepulauan Sulu, Indonesia dianggap berjasa dalam proses damai di Filipina selatan.
Komunikasi dan posko
Komunikasi antara pihak perusahaan dan penghubung Al Habsyi yang dijuluki "Pak Cik" dilakukan tiap sore sekitar pukul 15.00. Pak Cik berbicara dalam bahasa Melayu patah-patah.
Tim perunding pun dibentuk, melibatkan berbagai institusi di Indonesia. Pihak mediator berhasil membentuk tim di Filipina dengan tiga lapis jaringan.
Orang kedua di jaringan pertama merupakan seorang personel militer Filipina asli Kepulauan Sulu, yang mempunyai penghubung langsung dengan penyandera.
Perlahan-lahan, kepercayaan dibangun hingga akhirnya penghubung langsung yang dijuluki Agen Bravo itu bisa bertemu langsung dengan penyandera dan sandera. Mereka bergerak di sekitar Kalingalan Caluang-Masjid Likubong dan Omar di pantai utara Sulu.
Bukti sandera dalam keadaan hidup (proof of life) berhasil diperoleh pada Jumat (22/4). Materi itu diberikan ke Menteri Luar Negeri RI di Jakarta, Minggu (24/4), dan tim pun mendapat restu untuk bergerak membebaskan sandera.
Semula, pembebasan direncanakan Senin (25/4). Namun, rencana itu terhalang pemenggalan sandera asal Kanada, John Ridsel, sehingga militer Filipina menggelar operasi tempur. Dalam kondisi itu, mengeluarkan sandera sulit dilakukan.
Meski demikian, personel keamanan Filipina dan pemimpin sipil dengan sepenuh hati membantu dan juga menyiapkan safe house untuk tim yang sedang bekerja.
Safe house dibentuk terpisah di Manila dan Zamboanga untuk menjamin keamanan tim asal Indonesia.
Faktor lain yang membuat situasi kian runyam adalah ditutupnya jalur laut dan udara dari Sabah ke Kepulauan Sulu dan Zamboanga yang menjadi urat perekonomian tradisional.
Dalam situasi serba sulit, akhirnya sandera berhasil diselamatkan dan diterbangkan atas kerja sama yang baik antara Pemerintah Indonesia dan Filipina. Salamat namin kayo Filipinas.. Terima kasih kami kepada Filipina..