Inilah realitas di negeri kita yang tidak terselesaikan: masalah terbesar terletak di elite atau pembesar negeri. Ibarat pepatah kuno, "ikan lebih cepat membusuk di bagian kepalanya" (a fish rots from the head down).
Bayangkan sudah berapa banyak pemimpin dan politisi terjerat korupsi, tetapi tak juga memberi efek jera, apalagi sadar diri.
Sampai sekarang, belum ada obat atau terapi mujarab yang dapat menyembuhkan problem di bagian "kepala ikan" itu.
Sejak Reformasi sekitar 18 tahun silam, problemnya tetap sama. Sebetulnya boleh dikata hampir tidak ada kemajuan signifikan sejak rezim otoriter Orde Baru tumbang tahun 1998, dibanding sejumlah peristiwa buruk yang membebani bangsa ini.
Kalau rata-rata siklus perubahan politik sekitar 20 tahun saja, maka sebentar lagi siklus Reformasi akan berakhir. Namun, kita seperti jalan di tempat. Berputar-putar di situ-situ saja.
Ibarat mengisi air di ember bolong, perjalanan demokrasi pasca era Reformasi ini sangat melelahkan dan menjengkelkan. Kita membuang-buang waktu saja.
Ternyata, betapa sulit membangun karakter pemimpin yang bermoral. Padahal moralitas menjadi fondasi utama bagi seorang pemimpin.
Rakyat butuh pemimpin yang memberi keteladanan yang baik. Jika tidak, siapa yang mau memercayai?
Soal rendahnya moralitas, Franz Magnis-Suseno (1992) memberi contoh Konrad Hermann Josef Adenauer (1876-1967), kanselir pertama Republik Federasi Jerman (1949-1963).
Sewaktu memimpin sidang, seorang politisi muda marah kepadanya, "Bagaimana mungkin Anda mengatakan berbeda dari yang Anda katakan sebulan silam?"
"Peduli apa dengan omongan saya yang kemarin-kemarin," jawab Adenauer. Bagaimana politisi seperti itu bisa dipercaya?
Para politisi yang kemudian memegang kekuasaan, saat kampanye selalu menjanjikan gula-gula yang manis. Namun, selalu lebih banyak terasa pahit.
Seribu janji dilontarkan, tetapi yang muncul juga seribu dusta. Padahal mereka sudah disumpah pula sebelum menduduki kursi kekuasaan.
Ketika agenda reformasi memberantas korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN), para pemimpin (lokal maupun nasional) di negeri ini tetap saja banyak yang korup. Tidak sedikit petinggi negeri ini kehilangan kepekaan ataupun sense of crisis.