Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Menelisik Sumber Ketidakwarasan Negara

Kompas.com - 20/04/2016, 05:10 WIB

Sosok lain dalam bursa Pilkada DKI Jakarta berada di bawah 10 persen. Oleh karena itu, gerak jiwa yang diekspresikan oleh Basuki memberikan kesan bijak, harga diri tinggi, serta sangat percaya diri.

Sementara itu, sosok Harry Azhar Azis, Ketua BPK, menanggung beban moral sangat berat karena tuntutan bagi pegawai BPK sangat tinggi sebagaimana diekspresikan dalam moto: Tri Dharma Arthasantosha.

Lambang Garuda dan cakra emas bermakna keluhuran dan keagungan BPK sebagai lembaga tinggi negara. Adapun warna putih dan kelopak teratai adalah simbol kesucian, kebersihan, dan kejujuran yang harus menjiwai setiap pegawai BPK.

Oleh karena itu, tuntutan bagi pimpinan BPK adalah sosok ”setengah manusia, setengah malaikat”.

Tuntutan tingkat kesucian dan martabat yang sedemikian tinggi itu membuat masyarakat secara kategoris mengharuskan sosok tersebut seperti itu sangat harus menjaga martabat agar pantas dihormati publik.

Ibaratnya, wibawa yang terpancar dari tokoh tersebut membuat orang merasa berdosa, bahkan kalau hanya menduga yang bersangkutan melakukan sesuatu yang kurang terpuji.

Oleh karena itu, kalau tokoh yang dibayangkan mempunyai marwah dan martabat selangit, misalnya, lupa menyampaikan laporan harta kekayaan penyelenggara negara, akan menjadi bulan-bulanan publik.

Respons publik dapat menjadi liar, contohnya ketika muncul berita yang bersangkutan masuk dalam daftar Panama Papers yang menghebohkan, media massa dengan mudah merontokkan martabatnya.

Oleh karena itu, tokoh semacam itu diharapkan pula cermat merespons media. Ketergesaan akan membuka kotak pandora yang dikhawatirkan akan mengungkapkan hal-hal yang selama ini kurang nyaman diketahui publik.

Misalnya, pembelaan terhadap perusahaan dengan cepat direspons oleh media dengan menampilkan namanya dan alamat kantor lembaga negara di mana yang bersangkutan bertugas.

Konflik kepentingan terkuak, padahal kualitas hasrat yang bersangkutan mungkin tidak sesuram yang dipersepsikan oleh publik.

Kemungkinan pemahaman publik juga bias karena yang bersangkutan tokoh partai politik, institusi yang mempunyai perilaku buruk di mata publik.

Tentu saja gerak jiwa dari kedua sosok tersebut masih sangat dinamis. Masyarakat juga ingin tahu kualitas tokoh mana yang gerak jiwanya lebih kuat unsur logistikon dan thumos-nya daripada hasrat epithumia-nya.

Oleh karena itu, bangsa ini tidak boleh membiarkan hasrat liar penguasa tanpa kendali karena akan mengakibatkan runtuhnya bangunan struktur dan tatanan politik kekuasaan yang hendak dibangun.

Pendidikan hasrat menjadi agenda yang sangat mendesak bagi calon pemegang kekuasaan agar tidak terjebak ke dalam kubangan hasrat kuasa yang merusak tatanan peradaban politik.

J Kristiadi Peneliti Senior CSIS

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Gus Muhdlor Kirim Surat Absen Pemeriksaan KPK, tetapi Tak Ada Alasan Ketidakhadiran

Gus Muhdlor Kirim Surat Absen Pemeriksaan KPK, tetapi Tak Ada Alasan Ketidakhadiran

Nasional
PPP Minta MK Beri Kebijakan Khusus agar Masuk DPR Meski Tak Lolos Ambang Batas 4 Persen

PPP Minta MK Beri Kebijakan Khusus agar Masuk DPR Meski Tak Lolos Ambang Batas 4 Persen

Nasional
Sidang Sengketa Pileg Kalteng Berlangsung Kilat, Pemohon Dianggap Tak Serius

Sidang Sengketa Pileg Kalteng Berlangsung Kilat, Pemohon Dianggap Tak Serius

Nasional
Pemerintahan Baru dan Tantangan Transformasi Intelijen Negara

Pemerintahan Baru dan Tantangan Transformasi Intelijen Negara

Nasional
Tegur Pemohon Telat Datang Sidang, Hakim Saldi: Kalau Terlambat Terus, 'Push Up'

Tegur Pemohon Telat Datang Sidang, Hakim Saldi: Kalau Terlambat Terus, "Push Up"

Nasional
KPK Sebut Keluarga SYL Sangat Mungkin Jadi Tersangka TPPU Pasif

KPK Sebut Keluarga SYL Sangat Mungkin Jadi Tersangka TPPU Pasif

Nasional
Timnas Kalah Lawan Irak, Jokowi: Capaian hingga Semifinal Layak Diapresiasi

Timnas Kalah Lawan Irak, Jokowi: Capaian hingga Semifinal Layak Diapresiasi

Nasional
Kunker ke Sumba Timur, Mensos Risma Serahkan Bansos untuk ODGJ hingga Penyandang Disabilitas

Kunker ke Sumba Timur, Mensos Risma Serahkan Bansos untuk ODGJ hingga Penyandang Disabilitas

Nasional
KPK Kembali Panggil Gus Muhdlor sebagai Tersangka Hari Ini

KPK Kembali Panggil Gus Muhdlor sebagai Tersangka Hari Ini

Nasional
Teguran Hakim MK untuk KPU yang Dianggap Tak Serius

Teguran Hakim MK untuk KPU yang Dianggap Tak Serius

Nasional
Kuda-kuda Nurul Ghufron Hadapi Sidang Etik Dewas KPK

Kuda-kuda Nurul Ghufron Hadapi Sidang Etik Dewas KPK

Nasional
Laba Bersih Antam Triwulan I-2024 Rp 210,59 Miliar 

Laba Bersih Antam Triwulan I-2024 Rp 210,59 Miliar 

Nasional
Jokowi yang Dianggap Tembok Besar Penghalang PDI-P dan Gerindra

Jokowi yang Dianggap Tembok Besar Penghalang PDI-P dan Gerindra

Nasional
Sebut Jokowi Kader 'Mbalelo', Politikus PDI-P: Biasanya Dikucilkan

Sebut Jokowi Kader "Mbalelo", Politikus PDI-P: Biasanya Dikucilkan

Nasional
[POPULER NASIONAL] PDI-P Harap Putusan PTUN Buat Prabowo-Gibran Tak Bisa Dilantik | Menteri 'Triumvirat' Prabowo Diprediksi Bukan dari Parpol

[POPULER NASIONAL] PDI-P Harap Putusan PTUN Buat Prabowo-Gibran Tak Bisa Dilantik | Menteri "Triumvirat" Prabowo Diprediksi Bukan dari Parpol

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com